BUDAYA CANCEL CULTURE SEPERTI PISAU
Dr. Antonius Natan, M.Th | Wakil Ketua I Bidang Akademik STT LETS
A. PENDAHULUAN
Budaya baru diperkenalkan dalam sosial media, tanpa disadari banyak orang Kristen justru menjadi pelakunya. Secara sederhana, cancel culture memiliki pengertian mengacu pada gagasan untuk “membatalkan” seseorang. Dengan maksud memboikot atau menghilangkan pengaruh orang tersebut melalui medium teknologi media sosial. Menurut mesin analisa “Google Trends” menunjukkan bahwa istilah cancel culture mulai populer di Indonesia pada awal Agustus 2019 dan terkonsentrasi di Pulau Jawa. Istilah itu masih kalah populer dibandingkan istilah ‘boikot’ yang memiliki pemahaman serupa.
Kamus Merriam-Webster mulai populer sejak gerakan #MeToo tahun 2017. (merupakan sebuah gerakan kampanye untuk melawan segala bentuk pelecehan dan kekerasan seksual melalui sosial media) Menyatakan istilah ‘canceled’ bermakna menghentikan dukungan kepada orang yang berkomentar tidak pantas atau melakukan sesuatu yang tidak bisa diterima, dengan cara memboikot karya mereka.
Misalnya seorang public figure melakukan atau menyatakan sesuatu yang dianggap menyerang, menghina atau kontroversi, namun masyarakat melakukan respon di media sosial dengan efek bola salju yang makin lama makin membesar sehingga ada yang menyerukan si public figure pantas “di-cancel”.
B. PEMBAHASAN
- Istilah baru yang menjadi trending
Mungkin referensi pertama untuk istilah ‘meng-cancel’ seseorang berasal dari film tahun 1991 berjudul New Jack City di mana Wesley Snipes bermain sebagai seorang gangster bernama Nino Brown. Di satu adegan, setelah kekasihnya menangis karena semua kekerasan yang disebabkan olehnya, Nino mencampakkan pacarnya dengan berkata, ‘Cancel that b*tch. I’ll buy another one.’ Lompat ke 2010, rapper Lil Wayne kemudian memasukkan referensi adegan tersebut ke lagunya yang berjudul “Single” dengan lirik: “Yeah, I’m single / n***a had to cancel that bitch like Nino.”
Istilah “cancel” banyak dipakai setelah salah satu episode reality show VH1 berjudul Love and Hip-Hop: New York yang tayang Desember 2014 menampilkan adegan salah satu bintangnya Cisco Rosado berteriak pada gadis incarannya “You’re cancelled” setelah mereka bertengkar. Pemakaian istilah cancel menjadi trend dipakai oleh kaum kulit hitam di medsos yang awalnya sebagai candaan tetapi istilah ini menjadi populer tatkala diarahkan kepada public figure yang dianggap masalah.
- Penyebab “cancel”
Kebiasaan umum dalam mem-bully sering terkait dengan Kekayaan, kekuasaan, Seks, Perbedaan Politik, Suku, Agama, Ras, Antar golongan, tetapi bisa juga akibat perseteruan antara public figure yang melibatkan penggemar mereka. Beberapa tahun terakhir, fenomena cancel culture terhadap figur publik di Amerika marak terjadi. Sejak warganet beramai-ramai meng-cancel produser Hollywood kawakan Harvey Weinstein pasca-pengungkapan kasus-kasus pelecehan seksual yang menyeretnya, sederetan sosok lain juga mengalami hal yang sama untuk alasan berbeda.
Misalnya, penulis novel Harry Potter, J.K. Rowling, yang di-cancel karena komentarnya yang dinilai transfobia, hingga host-komedian Ellen Degeneres yang di-cancel akibat tuduhan pembiaran terhadap lingkungan kerja yang tidak sehat. Akibatnya, selain reputasi yang rusak, tak jarang kontrak kerja mereka juga melayang. Dalam dunia entertainment seperti bintang film, politisi banyak yang pernah merasakan cancel culture. Di Indonesia sebagai contoh seorang Ahok atau BTP mengalaminya secara menyeramkan. Tuduhan penistaan agama yang menggema diseluruh pelosok nusantara, yang berujung kehilangan jabatan gubernur dan masuk penjara. Termasuk juga lawan politiknya Anis Baswedan menerima berbagai olokan dan penghinaan. Tuduhan-tuduhan dilontarkan oleh pendukung dan penggemar tanpa memahami masalah yang sesungguhnya.
Saat ini Buzzer pihak tertentu mengganggu kenyamanan Presiden RI Joko Widodo, kelompok yang disebut ‘kadrun’ dengan semena-mena menghina presiden, menuduh sebagai komunis dan akhir-akhir ini mencuat lagi #TurunkanJokowi. Cuitan dan tagar seakan pemerintah tidak mampu mengatasi pandemi. Padahal berdasarkan Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) memperlihatkan, mayoritas responden merasa puas terhadap kinerja Presiden Joko Widodo secara umum. Dengan angka 75,6 % pada bulan Juni 2021.Tetapi ‘kadrun’ tetap menyematkan ‘cancel’ terhadap Presiden Jokowi.
Dengan medium teknologi sosial media penyematan “cancel” bisa dikenakan kepada siapapun, sehingga setiap pengguna sosial media harus bijak dan menahan diri. Rekam jejak masa lalu tidak mudah dihapus. Postingan kemarahan, rasis, jengkel dan nyinyir kepada orang lain bisa saja muncul lagi walaupun terjadi beberapa tahun silam. Mungkin pula cuitan rasis perlu klarifikasi, namun tetap saja masih ada orang yang tidak bisa memaafkan atau melupakan, sebagai akibatnya tentu meng-cancel.
- Diawali “Woke Culture” dan “Call-out Culture”.
Cancel culture mungkin merupakan kelanjutan dari “woke culture” dan “call-out culture” yang menjadi trending di media sosial. “Woke culture” berawal dari istilah yang mulai dipakai oleh African-American. Secara harfiah, “woke” berarti “bangun”, tetapi padanan kata yang lain adalah “sadar/ melek”. dimaksudkan sebagai sikap yang paham dan peduli soal isu-isu sosial. Woke culture digunakan oleh penggiat masalah sosial dengan menggunakan media sosial menyampaikan pendapat dan suara kebenaran versi mereka
Ketika kaum penggiat “woke” merasa terpinggirkan, terintimidasi dan teraniaya menjadi gusar terhadap pribadi, institusi maupun pemerintah maka curahan hati disalurkan melalui media sosial. Sama halnya kemarahan diobral melalui sosial media, misalnya jika sinyal wi-fi sedang bermasalah, dengan cepat mencurahkan kekesalan di media sosial. Ada institusi yang disebutkan seperti televisi berbayar. Jika setelah call out, namun sang pemegang merek belum melakukan perubahan atau tindakan perbaikan maka mungkin akan meng-cancel dan berhenti memakai layanan tersebut dan mencari alternatif lain. Jikalau yang di-call out adalah manusia? tindakan sederhana dari “meng-cancel” adalah dengan cara unfollow, mute, block, hingga melaporkan profil dan kontennya agar dihapus dari platform.
- Senjata pamungkas meruntuhkan
Istilah woke culture, call-out culture, dan cancel culture menjadi perdebatan pro dan kontra. Orang-orang woke umumnya disebut sebagai Social Justice Warrior alias SJW melontarkan suara kebenaran melalui platform media sosial sebagai bentuk activism performative agar terlihat educated dan smart dibanding orang lain. Call-out culture dan cancel culture merupakan tindakan public shaming atau mempermalukan orang di muka umum.
Call-out culture dan cancel culture sesungguhnya merupakan penerapan demokrasi, masyarakat bersuara dengan medium teknologi media sosial. Manusia yang memiliki suara dan hak untuk mengungkapkan ketidak setujuan dan gugatan. Tetapi jika salah dan dimanfaatkan oleh orang yang berkepentingan dan tidak tulus maka dapat merusak nama baik orang. Apalagi menggunakan suara dan hak menyatakan kemarahan dan gugatan untuk masalah sepele dan masuk dalam pertikaian public figure. Para penggemar saling meluapkan emosi, pembelaan dengan hujatan dan mungkin juga fitnah dan opini pribadi yang tak ada kaitannya dengan diri pribadi. Trending Topic karena perperangan antar penggemar.
- Konsekuensi dari cancel culture.
Pada masa pandemi, semakin sering orang menggunakan media sosial, cancel culture akhirnya memiliki konsekuensi yang lebih nyata. Menurut Hootsuite (We are Social): Indonesian Digital Report 2020 bahwa Indonesia dengan penduduk 272,1 juta dengan pengguna seluler 338,2 juta/124%, yang berselancar melalu teknologi Internet 175,4 juta / 64% (7,59 jam/hari), pelaku dan penikmat Sosmed 160 Juta/59% (3,26 jam/hari). data membuktikan semakin banyak orang berada dalam dunia maya. Fenomena cancel culture bisa saja berakhir di sosial media, karena figure terkait tak terpengaruh. Demikian sebaliknya sosok influencer yang blunder, mengakhirinya dengan posting permintaan maaf, menghapus konten yang bermasalah, menghilang dari medsos.
Contohnya membuat “prank” pada kaum terpinggirkan kemudian ditahan polisi setelah konten tersebut heboh “di-call out” di media sosial dan di-blow up oleh media massa. Situasi ini menjadi biasa dan sering juga berujung damai disaksikan oleh meterai tempel. Berbagai peristiwa menggambarkan bahwa media mainstream acapkali mencari berita dari media sosial hingga isu apapun yang menjadi trending topic di YouTube, twitter, IG maupun fb, menjadi sangat cepat terekspos dan tersebar melalui televisi dan berbagai media arus utama. Akhirnya banyak masyarakat menjadi tahu. Betapa sangat menghancurkan dan meruntuhkan harkat martabat jika peristiwa tersebut hanya isapan jempol.
C. PENUTUP
Apakah bertentangan dengan Kitab Suci?
Cancel culture telah menjadi bagian dari tindakan masyarakat siber secara kolektif walau tanpa komando. Pertanyaan apakah cancel culture bertentangan dengan Kitab Suci? Tentu perlu dipertegas dengan analogi keberadaan pisau. Pisau dibutuhkan untuk keperluan masak didapur, pisau juga digunakan untuk memotong daging. Tetapi pisau tidak dibenarkan sebagai alat untuk membunuh manusia. Sehingga cancel culture perlu ditelaah kasus perkasus tindakan dan tidak bisa digeneralisasi.
Misalnya, call-out dan cancel culture yang menimpa seseorang yang dituduh melakukan pelecehan seksual. Korban tidak dapat menahan rasa malu bila melaporkan peristiwa kepada polisi. Tetapi berkeluh kesah melalui akun sosial media milik sendiri. Kemudian seorang teman di media sosial bertindak sebagai Social Justice Warrior mengangkat masalah tersebut (call-out) ke ranah publik dan meminta pertanggungjawaban. Tatkala publik terlibat secara kolektif, muncul cancel culture. Sesungguhnya masyarakat umumnya hanya membutuhkan pengakuan dan permintaan maaf dari pelaku. Namun publik sering tanpa kontrol memberikan komentar negatif, menyerang dan melakukan intimidasi tanpa paham sebab musabab. Tentu saja tindakan ini tidak berbeda dengan main hakim sendiri.
Cancel culture merupakan keputusan bersifat pribadi dan kembali kepada diri masing-masing. Apakah layak menghakimi orang sehingga pantas di-cancel atau tidak, setiap individu memiliki standar moral yang dianut. Sebagai umat Kristen nilai-nilai Injili merupakan pedoman dalam pengambilan keputusan, bertindak dan bertingkah laku. Sikap dan perilaku di dunia maya wajib menjunjung etika moral. Pertimbangkan ketika melakukan sesuatu di dunia maya, like, comment, share, apalagi melakukan cancel culture. Pertimbangan dan ukurannya adalah apakah bermanfaat? apakah akan menimbulkan kebencian? apakah mengganggu orang lain? Apakah sedang berbuat baik? Apakah sesuai dengan Kitab Suci?
Mari bijak menggunakan sosial media, sebelum mengalami meng-cancel atau di-cancel orang lain. Diperlukan kasih dan pengampunan serta mengedukasi.
Pro Ecclesia Et Patria.
Daftar Pustaka
Alkitab, 2017, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta
Kamus online, KBBI, disadur 10 Juli 2021