NAPAK TILAS RASUL JAWA
Dr. Antonius Natan – Waket I STT LETS
STT LETS bekerjasama dengan Persatuan Wartawan Nasrani (Pewarna) Indonesia mengadakan Napak Tilas Rasul Jawa dengan tema Merevitalisasi Nilai-nilai Luhur Budaya Bangsa, Menyongsong Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh. Menelusuri jejak misionaris pribumi lokal ditanah Jawa. Kegiatan ini membangkitkan sejarah masa lampau dengan menelusuri perjalanan religi para Penginjil Lokal Jawa di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada tahun 1800 – tahun 1900 didaerah pedalaman tanah Jawa terdapat beberapa tokoh mendapat julukan “Rasul Jawa”. Pada masanya berhadapan dengan penjajah dan agama Hindu, Kejawen, Penghayat Kepercayaan dan Islam yang sedang berkembang. Penginjil lokal Jawa dengan gigih mewartakan kabar baik tentang kehidupan kekal dari sang juru selamat Tuhan Yesus Kristus. Sebutan “Rasul Jawa” menegaskan bahwa misionaris tidak hanya berasal dari bangsa Eropa seperti Belanda, Jerman, Portugis dll yang menjajah Nusantara. Pada tahun 1800 an telah dibuktikan bahwa Penginjil lokal tanah Jawa yang kesohor bernama Kiai Ibrahim Tunggul Wulung saat bertapa dikaki gunung Kelud Kediri, dengan sahabatnya Nyai Endang Sampurnawati mendapat Wahyu langsung dari Allah, tentang 10 perintah Tuhan.
Sejarah mencatat Rasul Jawa berhasil menangkan jiwa-jiwa, ribuan umat dibaptis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Penginjilan yang menyerap budaya Jawa membentuk budaya Jawa Kristen yang unik. Ibadah-ibadah mempertunjukkan wayang yang berisikan kisah-kisah Alkitab, demikian juga kesenian Ludruk dan Ketoprak masuk dalam “Masjid Kristen”, sebutan gereja pada kala itu. Ada pula jargon “Kristen Mardiko” dikenal dan menakutkan kaum penjajah, sejarah mencatat Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dan pengikutnya Abisai Dito Teruno dan Singo Teruno merupakan bagian dari Pasukan Pangeran Diponegoro yang ditakuti. Metode yang digunakan oleh Kiai Tunggul Wulung waktu itu adalah sarasehan, pemuridan berkelompok dan bertatap muka satu persatu sekaligus menyerap budaya lokal Jawa. Kultur Jawa dalam Kekristenan ternyata mampu mengubah masyarakat menjadi pemeluk agama Kristen. Dalam pencahariannya Kiai Tunggul Wulung berjumpa dengan Jelle Eeltjes Jellesma di dusun Mojowarno, pada kesempatan tersebut “Rasul Jawa” melakukan ‘ngelmu” agama Kristen. Kemudian melakukan perjalanan penginjilan hingga ke dusun Bondo Jepara dan menetap disana. Salah satu Penginjil Lokal Jawa adalah Paulus Tosari yang berguru dengan J.E.Jellesma kemudian mewartakan kabar baik didusun Mojowarno Jombang. Destinasi akhir Napak Tilas Rasul Jawa adalah dikota Purworedjo, melihat perjalanan hidup Kiai Sadrach yang adalah pengikut Kiai Ibrahim Tunggul Wulung yang diarahkan ke selatan setelah berjumpa di Mojowarno dan Bondo. Salah satu kisah menarik adalah Kiai Sadrach dibaptis di Gereja GPIB Sion Batavia (sekarang Jakarta). Pada usia 27 tahun membuka hutan angker dan ternyta berhasil menaklukannya serta melakukan penginjilan di dusun Karang Joso Kutoardjo Kabupaten Purworedjo.
Hingga kini Amanat Agung dari Injil Matius 28:18-20, “… “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa disurga dan dibumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” tetap memiliki dampak dan Api Injil terus menyala di Gereja injili Tanah Jawa (GITJ) tersebar di daerah Jepara dan sekitar Jawa Tengah, yang tentunya tidak lepas dari karya Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dan pengikutnya. Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojowarno Jombang merupakan gereja tertua di Indonesia yang dirintis oleh Kiai Paulus Tosari, dikenal sebagai pusat siar wilayah Jawa Timur. Gereja Kristen Jawa (GKJ) Karangjoso didirikan oleh Kiai Sadrach. Dan gereja berkembang hingga berbagai kota di Indonesia. Gereja Kristen Kerasulan Indonesia (GKKI) Ketug, Butuh Kutuarjo berkembang kebeberapa kota. Mempelajari situasi kondisi pada tahun 1800 – tahun 1900, tentulah penginjilan tanah Jawa tidaklah mudah dilakukan. Wilayah yang luas dan transportasi yang minim, ancaman dari penjajah, ancaman dari umat tidak seiman. Kondisi ekonomi yang tidak bagus, kemiskinan dan kurangnya pendidikan serta melekatnya budaya Jawa dalam bentuk Kejawen dan perdukunan yang masih marak pada saat itu. Tentulah hanya orang yang memiliki karakter dan kapasitas memimpin, mendapatkan panggilan khusus serta diberikan otoritas Surgawi yang mampu bertahan dan membawa perubahan besar.
Pro Ecclesia et Patria
Daftar Pustaka
Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2017