BOLEHKAH PENDETA MENJADI PENGUSAHA
Di tulis oleh: Ir. Nelson Martogi Panjaitan M.Th
Mahasiswa Pasca Sarjana STT LETS – IKB
Program Doktor Teologi
Pendahuluan
Kebutuhan hidup dan biaya hidup (cost of living) semakin bertambah tahun pasti semakin tinggi. Selain harga-harga bahan pokok naik, tentu saja niaya kebutuhan lainnya juga naik. Semuanya tergantung pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi di negara atau daerah tersebut. Kebutuhan hidup pun semakin beragam, dahulu sebelum masa pandemi kebutuhan rumah tangga untuk internet mungkin tidak dianggarkan tetapi sekarang sudah menjadi kebutuhan, bukan hanya di perkotaan bahkan juga di pedesaan. Persoalan ini dihadapi oleh semua orang, kaya miskin, pejabat atau karyawan, pendeta atau jemaat.
Para pendeta yang memiliki jemaat yang relatif banyak tentu lebih mampu dari sisi ekonomi daripada pendeta yang memiliki jemaat sedikit, apalagi kalau latar belakang jemaatnya juga cukup baik secara ekonomi. Gereja-gereja sinodal yang besar juga mungkin lebih mampu membiayai pelayanan (salah satunya gaji pendeta) dibanding sinode yang lebih kecil. Demikian juga dengan pendeta-pendeta besar, pemimpin sinode, atau pendeta tertentu mungkin tidak menghadapi persoalan ekonomi karena mereka mendapatkan undangan-undangan pelayanan di berbagai instansi dan komunitas. Namun, bagaimana dengan para pendeta kecil yang tidak seperti para pendeta besar tadi? Selain kebutuhan penatalayanan gereja, mereka juga memiliki kebutuhan untuk rumahtangganya. Disinilah kemudian muncul dinamika-dinamika dalam kehidupan para pendeta mencari siasat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan kemajuan pelayanannya. Bagi pendeta protestan mainstream, oleh karena dibatasi prosedur dan aturan-aturan gereja (yang tidak memperbolehkan mencari penghasilan di luar gereja) maka istri atau suami pendeta tersebutlah yang membantu penghasilan tambahan dari sumber lain. Sementara pendeta-pendeta dari kalangan karismatik memiliki pandangan yang cukup beragam, ada yang strict fokus pada penggembalaan (biasanya gembala sidang), ada yang memberi kelonggaran pada pendeta di bawahnya (asalkan tidak mengganggu waktu pelayanan), ada juga yang justru PNS atau pengusaha. Pada bagian selanjutnya akan dibahas topik pembahasan: bolehkah seorang pendeta menjadi pengusaha.
Bolehkah pendeta menjadi pengusaha?
Pada bagian pembahasan ini, sebelum menjawab boleh tidaknya seorang pendeta menjadi pengusaha menurut kacamata saya, supaya lebih biblical maka perlu melihat prinsip-prinsip yang tertulis di dalam Alkitab. Sekalipun pada akhirnya jawaban atas pertanyaan ini sudah jelas, tergantung kepada aturan-aturan gereja masing-masing. Tentunya ajaran Alkitablah yang dibutuhkan untuk menjawab pokok pembahasan ini. Premis-premis yang saya paparkan di bawah ini akan menjadi jawaban dari saya atas pokok bahasan.
Kitab Pejanjian Lama, Kejadian pasal 1 dan 2 adalah keadaan ketika manusia belum jatuh dalam dosa. Keadaan tanpa dosa tentunya adalah keadaan ideal dan sempurna sebagaimana TUHAN yang sempurna menciptakan segala sesuatu. Manusia sebagai makhluk ciptaan yang mewakili gambar dan rupa TUHAN diberi kuasa untuk menaklukkan, mengusahakan, dan merawat bumi (Kejadian 1:26-28 ; 2:15). Kata “mengusahakan” pada Kejadian 2:15 adalah “avodah” yang kemudian mengalami transliterasi ke bahasa Arab dan Indonesia menjadi “ibadah”. Jadi, makna “avodah” pada mulanya (sebelum manusia berdosa) adalah berusaha atau bekerja. Sebelum manusia jatuh dalam dosa, Adam dan Hawa bekerja setiap hari menngusahakan dan merawat bumi, baik yang di udara, di dalam air maupun di daratan. Hubungan yang harmonis antara TUHAN, manusia, sumber daya alam terjalin sedemikian baik. Tampaknya TUHAN memiliki rutinitas menemui Adam dan Hawa di hari yang sejuk (Kejadian 3:8). Hubungan itu menjadi rusak ketika suatu hari sejuk lainnya, TUHAN datang dan menyapa namun dari respon manusia itu ketahuanlah bahwa mereka sudah melanggar perintah TUHAN. Adam dan Hawa jatuh dalam dosa. Jika, seandainya Adam dan Hawa tidak pernah jatuh dalam dosa, apakah aktifitas, pekerjaan, profesi atau jabatan mereka? Pasti jawabannya adalah beranakcucu, menaklukkan, menguasai bumi lewat cara mengusahakan dan merawat. Kitab Kejadian 1:28 “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Mengusahakan dan merawat bumi adalah pekerjaan Adam dan Hawa sehari-hari. Kitab Kejadian 2:15 “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.”
Sampai hari ini jikalau Adam dan Hawa tidak jatuh ke dalam perangkap dosa maka sudah pasti manusia berjumlah sangat jauh lebih banyak karena manusia tidak bisa mati. Kemampuan manusia bekerja (mengusahakan dan merawat) tanpa cacat, kebutuhan manusia terpenuhi tanpa ada kekurangan. Faktanya, keadaan berbalik 180 derajad manusia jatuh dalam dosa, akibatnya tanah dikutuk, perempuan mengalami kesulitan bersalin, laki-laki bersusah payah seumur hidupnya. “Lalu firman-Nya kepada manusia itu: “Karena engkau mendengarkan perkataan isterimu dan memakan dari buah pohon, yang telah Kuperintahkan kepadamu: Jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” (Kejadian 3:17). Keadaan berdosa inilah yang membuat segala sesuatu menjadi berubah lebih buruk. Semua tejadi karena manusia jatuh dalam dosa. Pada perkembangan selanjutnya maka muncullah solusi-solusi untuk mengatasi setiap persoalan manusia. Mulailah dikenal ahli-ahli di dalam berbagai bidang, misalnya di kesehatan muncullah profesi-profesi tabib, dukun, dokter, dlsb. Begitu juga di profesi-profesi lainnya yang kita kenal sekarang. TUHAN sendiri memberi solusi bagi manusia sehingga lewat perintah-perintahNya muncullah orang-orang tertentu yang TUHAN pakai untuk mengatur dan melaksanakan upacara korban-korban (ibadah). Perintah TUHAN tetap sama agar umat-Nya “avodah” kepadaNya. Kata beribadah disini juga memakai kata “avodah”. Kitab Keluaran 12:25 tertulis: “Dan apabila kamu tiba di negeri yang akan diberikan TUHAN kepadamu, seperti yang difirmankan-Nya, maka kamu harus pelihara ibadah (Avodah) ini.” Demikian juga Ulangan 6:13 tertulis: “Engkau harus takut akan TUHAN, Allahmu; kepada Dia haruslah engkau beribadah (‘Avad) dan demi nama-Nya haruslah engkau bersumpah. Oleh karena inilah maka muncul jabatan-jabatan seperti imam, nabi, rasul, penatua, diaken di Alkitab yang kemudian saat ini umumnya dikenal dengan jabatan pendeta.
Dari penjelasan diatas, premis yang saya bangun adalah bahwa TUHAN memberi tugas untuk ber-avodah, bekerja dan beribadah sebagai satu kesatuan utuh yang tidak terpisahkan. Rabi Yahudi sendiri tidak diupah oleh karena mengajar, mereka hidup dengan berbagai profesi yang mereka lakoni sehari-hari. Di mata TUHAN apapun aktifitas, pekerjaan atau profesi umatNya bukan persoalan. Apakah umatNya menyembah, mempermuliakan, memasyhurkan TUHAN, itulah yang dilihat atau dirindukan TUHAN. Inilah landasan utama menjawab pokok permasalahan yang dibahas disini.
Dengan dasar premis diatas maka saya bisa masuk kepada jawaban atas pertanyaan “bolehkah pendeta menjadi pengusaha”. Jawaban lugas atas pertanyaan itu adalah boleh, asalkan hal itu memuliakan TUHAN. Namun tidak semudah itu dalam prakteknya, karena ada potensi-potensi ketidakefektifan dalam mengerjakan pelayan bagi para pendeta maka dibuatlah aturan-aturan yang menetapkan pendeta tidak boleh memiliki profesi lain selain menjadi pendeta. Seperti yang disampaikan di bagian pendahuluan, gereja-gereja memang memiliki prosedur dan aturan yang berbeda bukan hanya pada denominasi yang berbeda, di denominasi bahkan di sinode yang sama (misalnya GBI) pun ada juga perbedaan pandangan. Yang cukup jelas melarang adalah gereja-gereja protestan seperti HKBP, GKI, Reform, GKO, dlsb. Ketetapan dan aturan melarang pendeta menjadi pengusaha bisa diterima dengan alasan demi efektifitas pelayanan. Tujuannya semata-mata hanya kemajuan pelayanan, orang yang fokus pada penggembalaan (pastoral) tentu saja lebih efektif dibanding dia juga melakoni pekerjaan lain. Bukan saja karena waktu yang terbagi ke pekerjaan, tetapi fokus juga akan terganggu karena beban-beban kerja menjadi pengusaha juga pasti banyak. Paulus seringkali bekerja sebagai pembuat tenda, tetapi dia tidak pernah melalaikan tugsa pelayanannya. Kepada para penatua di Efesus, Paulus memberi kesaksian bagaimana dia sungguh-sungguh melayani dan bekerja d tengah-tengah mereka (KPR 20:20, 26-27, 31, 34-35) Pelayanan tidak terbengkalai. Selain faktor efektifitas pelayanan, motivasi hati juga sangat penting. JIka motivasi untuk menjadi pengusaha adalah memperkaya diri secara materi atau memiliki keinginan-keinginan yang duniawi (gaya hidup hedonis dan kosumeris) maka motivasi seperti itu tidak berkenan di hadapan TUHAN. Gereja-gereja yang melonggarkan aturan dengan memperbolehkan pendeta menjadi pengusaha atau yang memang tidak mempermasalahkan hal itu, jika ada pendeta yang memiliki motivasi duniawi yang tidak mempermuliakan TUHAN maka itu pun sesuatu yang salah. Yang paling utama adalah apakah pekerjaan atau usaha itu dilakukan untuk pekerjaan perluasan kerajaan TUHAN, dan sungguh-sungguh dipersembahkan untuk TUHAN, jika ya maka tidak ada masalah pendeta menjadi pengusaha. Paulus dalam banyak kesempatan kadang menerima dan kadang menolak persembahan. Dia tidak terpengaruh oleh hal lain selain dari hatinya yang selalu teruju kepada pelayanan. Beberapa kali dia menerima bantuan dari jemaat Filipi (Filipi 1:5-7 ; 2:25-30 ; 4:10-18) tetapi dia juga kadang menolak bantuan yang datang padanya jika itu merintangi kemajuan bagi pekerjaan Injil (1 Korintus 9:12). Bagi Paulus, jika bekerja sendiri lebih membawa kemajuan bagi pekerjaan Injil maka Paulus memilih untuk tidka menerima sumbangan dari jemaat. Paulus berkata: “Sebab kamu sendiri tahu, bagaimana kamu harus mengikuti teladan kami, karena kami tidak lalai bekerja di antara kamu, dan tidak makan roti orang dengan percuma, tetapi kami berusaha dan berjerih payah siang dan malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapapun di anatar kamu. Bukan karena kami tidak berhak untuk itu, melainkan karena kami mau menjadikan diri kami teladan bagi kamu, supaya kamu ikuti (2 Tesalonika 3:7-9) Memang tidak semua pendeta punya anugerah dan karunia seperti Paulus, dan tidak semua orang bisa melakukan 2 hal sekaligus bekerja sama baiknya dengan melayani. Mungkin pendeta tersebut akan lebih baik jika fokus melakukan pelayanan saja agar tidak berbengkalai.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan :
- Pada mulanya TUHAN merancang manusia memang untuk bekerja, mengusahakan dan merawat bumi dan segala isinya (kejadian 2:15). Tujuan rancangan itu tidak berubah, manusia dirancang TUHAN untuk bertumbuh dan berkembang mengelola apa yang dipercayakan padanya.. Untuk itu TUHAN memberi talenta, karunia-karunia, skill dan pengetahuan untuk melipatgandakannya sampai TUHAN kembali menuntut hasil dari hamba-hambaNya (Matius 25:14-30).
- Persoalan bolehkah pendeta menjadi pengusaha bukan terketak pada profesi atau panggilan, melainkan apakah nama TUHAN dipermuliakan oleh profesi itu tersebut. Jika pendeta menjadi pengusaha yang mengusahakan bisnisnya dengan tujuan agar laba usahanya untuk kemajuan pekerjaan Injil, menolong orang-orang miskin, dan menjadi teladan bagi jemaat, maka itu adalah sesuatu yang mulia. Itulah makna avodah.
- Dua alasan dasar yang perlu dipertimbangkan untuk menjawab bolehkah pendeta menjadi pengusaha adalah efektifitas dan motivasi hati. Gereja-gereja yang melarang, mungkin mempertimbangkan kedua hal itu. Jauh lebih baik jika fokus daripada berbagi tugas antara menjadi pendeta dan pengusaha. Selain itu motivasi hati juga sangat menentukan, seseorang bisa berubah karena uang.
- Memperluas Kerajaan ALLAH melalui penjangkauan sebanyak mungkin jiwa serta membawa budaya kerajaan adalah kemajuan pelayanan Injil yang dimaksud oleh Paulus. Jika tujuan menjadi pengusaha adalah ini maka itu diperbolehkan.
- Jika melakukan peran sebagai pendeta dan pengusaha tidak seimbang sehingga berpotensi mengorbankan salah satunya, maka lebih baik pendeta fokus saja pada penatalayanan di gereja
Referensi :
Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, 2004
Erastus Sabdono, Biblical Entrepreneurship, 2016
Shalom,
Saya ingin mengutip artikel ini dalam penulisan jurnal ilmiah saya untuk tugas kuliah Kingdom Communication di STT Kingdom Bali, apakah saya bisa diemailkan artikel ini dalam bentuk file pdf nya.
Terima kasih,
Tuhan Yesus memberkati