Melihat Lebih Dalam Fenomena Biseksual
Oleh
Selviana
Fakultas Psikologi UPI YAI – STT LETS
Tuhan menciptakan manusia sejak awal sebagai laki-laki dan perempuan,yang pada akhirnya berpasangan untuk saling melengkapi, berpartner, bahkan beranak cucu dan bertambah banyak sesuai kerinduan Tuhan untuk melestarikan dan memenuhi bumi ini. Namun dalam perkembangannya, dunia memunculkan fenomena terbentuknya berbagai komunitas: bangsa, ras, seperjuangan, seperasaan, senasib, satu minat dan sebagainya yang menimbulkan berbagai keragaman baik secara positif maupun negatif. Secara positif keragaman tersebut membuat manusia mampu belajar dari berbagai sumber untuk mengenal manusia lainnya secara budaya, , bahasa dan sebagainya yang semuanya itu membentuk kepribadian manusia. Namun secara negatif, dengan semakin berkembangnya pergaulan antar sesama manusia dapat juga menimbulkan penyimpangan-penyimpangan perilaku bahkan secara khusus penyimpangan orientasi seksual. Salah satu yang terjadi dari penyimpangan tersebut adalah Biseksual. Coleman (1994) menggolongkan biseksual ke dalam orientasi homoseksual, karena secara teori biseksual pun mengalami ketertarkan terhadap sejenis. Banyak masyarakat menilai bahwa homoseksual/biseksual sebagai sumber dari penyakit HIV/AIDS karena memiliki ketertarikan baik dengan lawan jenis maupun sejenis, bahkan di Indonesia homoseksual/biseksual dianggap sebagai penyimpangan/abnormalitas (Demartoto, 2012). Tidak hanya secara sosial, secara agamapun di kalangan agamawan Indonesia melihat bahwa kaum sejenis biseksual identik dengan sesuatu yang “hitam”. karena menerobos sisi-sisi moral yang dibangun oleh agama dan sosial masyarakat. Bahkan sereligius atau sebaik apapun manusia, jika ia telah melakukan “penyimpangan seksual”, otomatis orang tersebut dianggap tidak sejalan dengan yang diajarkan dalam keyakinan agamanya (Olong, 2007).
Pada dasarnya, kelompok biseksual tidak menampakkan perilaku tertentu secara fisik, sehingga tidak gampang dikenali. Karena itu, seseornag yang tampak selayaknya pria tulen yang terlihat bahagia dengan istrinya misalnya, ternyata juga berhubungan dengan pria. Bahkan seorang pria yang diketahui playboy dengan banyak pacar wanita misalnya, ternyata menjalin hubungan layaknya kekasih dengan seorang pria. Studi yang dilakukan di Australia dan dipublikasikan pada bulan Mei 2012 dalam British Journal of Psychyatry menemukan bahwa orang dewasa yang menjalani kehidupan biseksual cenderung tidak bahagia secara psikologis yang meliputi perasaan-perasaan seperti cemas, depresi dan rasa bersalah yang sangat mendalam. Itu sebabnya banyak pihak yang meduga bahwa seorang biseksual tidak bisa sejahtera secara psikologis.
Biseksual merupakan salah satu penyimpangan perkembangan psikoseksual, selebihnya biseksual merupakan refleksi diri individu yang identitas dirinya rendah (Sadarjoen, 2005). Calhoun dan Acocella (1990) mengemukakan bahwa kegagalan dalam menjalankan identitas dapat menimbulkan konflik peran dalam diri individu. Konflik peran ditandai dengan munculnya kondisi psikologis seperti merasa bersalah karena merasa berbeda, perasaan gelisah, keletihan fisik dan mental untuk tetap normal didepan orang lain. Konflik tersebut lalu mengacu pada kesulitan dalam menghadapi peran yang harus dijalankan. Rasa bersalah kepada Tuhan serta kebutuhan akan suatu keintiman dengan pasangan sejenis yang memberikan rasa nyaman tentu menjadi konflik batih yang tidak dapat dihindari.
Menurut Salbiah (2003), mayoritas orang dewasa mengidentifikasikan diri mereka sebagai heteroseksual, yang berarti memiliki gairah seksual dengan lawan jenisnya. Kira-kira 10% mengidentifikasikan diri mereka dengan homoseksual (Gay/lesbian), sedangkan sejumlah kecil orang adalah biseksual, mereka mempunyai ketertarikan dengan kedua jenis (laki-laki maupun perempuan). Sementara Kinsey (1994) dalam penelitian yang dilakukan di Amerika menyatakan sekitar 1% individu mengatakan bahwa diri mereka adalah biseksual yaitu sekitar 1, 2% jumlah pria dan 0, 7% jumlah wanita. Berdasarkan informasi dari Depkes RI (2008) homoseksual dan biseksual merupakan kelompok masyarakat yang menunjukkan angka tinggi dalam faktor penularan HIV/AIDS di Ameika pada tahun 1992, data pasien AIDS terbanyak ditunjukkan oleh kaum homoseksual dan biseksual yaitu sekitar 65% (Herma, 2013). Artinya, kondisi tersebut hanya menunjukkan sejumlah biseksual yang terkena resiko HIV/AIDS, tapi diluar itu jumlah biseksual baik yang terkena maupun yang tidak terkena HIV/AIDS bisa jadi lebih banyak dari yang telah disebutkan.
Kondisi di atas merupakan sedikit cerminan dari keadaan kaum biseksual yang ada ditengah-tengah masyarakat. Ada yang pro karena menghargai hak dan kebebasan manusia dan banyak juga yang kontra dengan fenomena ini, namun demikian membangun sikap bijaksana adalah tugas yang berharga dalam mengarahkan pemahaman kepada suatu kesimpulan: bahwa kaum biseksual adalah individu ciptaan Tuhan, memerlukan perlindungan hak hidup melalui pendekatan sektoral maupun personal. Jikalau memungkinkan, masyarakat luas dan khususnya gereja Tuhan bersedia membuka diri memahami fenomena yang sedang terjadi adalah hal yang membutuhkan penangan khusus; turut menjaga dan memaknai nilai-nilai kemanusiaan maupun norma keagaamaan di tengah kehidupan sosial lintas budaya, sektoral, regional, multinasional maupun global, sehingga terbangun sikap bukan melepaskan tangan, saling mempersalahkan atau saling menuduh, tetapi saling membenahi di tengah kehidupan umat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang bermartabat dan saling menghargai, terlebih membuka diri untuk melayani orang-orang yang memiliki orientasi seksual yang berbeda untuk menuntunnya dengan hikmat Tuhan kepada yang semestinya.
Referensi:
Calhoun, J. F & Acocella, J. R. (1990). Psikologi tentang kemanusiaan dan hubungan kemanusiaan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Coleman, E. (1994). Bisexual and gay men in heterosexsual marriage: conflicts and solution in theraphy. The bisexuality in society journal.
Dermatoto, A. (2010). Seks, gender dan seksualitas lesbian. Solo: Tidak diterbitkan.
Herma, N. (2013). Kondisi psikologis pada biseksual. Yogyakarta: Tidak dipublikasikan.
Kinsey, A. C. (1994). Sexual behavior in human male. Amerika: W. B Sunders.
Olong, H. (2007). Tangan-tangan kuasa dalam kelamin. Yogyakarta: INSISTPress.
Sadarjoen, S. S. (2005). Bunga rampai kasus gangguan psikoseksual. Bandung: Refika Aditama.
Salbiah. (2003). Keseimbangan seks dan seksualitas. Sumatra Utara: Tidak dipublikasikan.