Suksesi kepemimpinan merupakan bagian penting dalam sebuah lembaga atau organisasi. Setiap organisasi yang sehat akan selalu melakukan regenerasi kepemimpinan kepada para pemimpin berikutnya. Sehingga regenerasi kepemimpinan atau suksesi kepemimpinan merupakan sebuah keniscayaan yang akan terjadi dalam sebuah organisasi. Suksesi dapat terjadi karena beberapa faktor, suksesi bisa terjadi karena masa jabatan dari pemimpin sudah berakhir,tapi juga bisa terjadi disebabkan karena pemimpin tersebut tidak mampu memimpin disebabkan karena faktor kesehatan at au pemimpin tersebut mengalami kematian. Namun suksesi juga bisa terjadi disebabkan karena adanya faktor perpecahan yang menyebabkan revolusi atau kudeta di dalam sebuah organisasi.
Salah satu ciri pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang mampu menghasilkan pemimpin selanjutnya untuk menggantikan kepemimpinannya, Yakob Tomatala menjelaskan
“ Pemimpin yang efektif akan selalu memikirkan dan berurusan dengan pemimpin yang baru untuk kelangsungan kerja. Pengkaderan begitu penting untuk peningkatan mutu serta intensitas serta kontinuitas kerja. Pengkaderan juga bermanfaat untuk menopang kelangsungan hidup organisasi dan kerja dengan menyiapkan pemimpin yang tangguh yang menjamin kelancaran suksesi kepemimpinan.”
Sebuah riset perusahaan keluarga di Indonesia yang dilakukan pada tahun
2014, menunjukan hasil : “ hanya 25% dari keseluruhan perusahaan yang dimiliki oleh keluarga bisa bertahan pada masa transisi antar generasi pada generasi kedua, sementara itu hanya 14% mampu bertahan pada generasi ketiga dan hanya 3%saja yang mampu berkembang sampai pada generasi ke
empat dan seterusnya.”
Kondisi gereja juga mengalami masalah dalam suksesi kepemimpinan. Kegagalan yang sering dialami oleh para pemimpin gereja adalah kegagalan dalam melakukan suksesi. Para pemimpin gereja tidak melakukan perencanaan suksesi dengan terencana dan tidak memiliki sistem kaderisasi yang jelas, terukur dan terarah untuk menghasikan para pemimpin baru. Akhirnya gereja pada dewasa ini sedang mengalami masalah krisis kepemimpinan .
Salah satu tantangan terbesar bagi para pemimpin adalah melatih orang lain untuk menjadi seorang pemimpin. “ Sebuah organisasi yang tidak mampu menghidupkan dirinya sendiri secara terus menerus berarti telah gagal. Oleh karena itu,sebuah organisasi saat ini, harus menyediakan orang-orang yang dapat
menjalankan organisasi di hari esok.”
Krisis kepemimpinan terjadi disebabkan karena para pemimpin gereja tidak menjadikan suksesi sebagai bagian penting dalam kepemimpinannya. Para pemimpin gereja masih memiliki masalah dalam melakukan kaderisasi kepada pemimpin selanjutnya. Jahenos Saragih dalam bukunya yang berjudul Manajemen Kepemimpinan Gereja menyatakan4 :
“ Sesuai dengan pengamatan Saya selama ini diberbaga denominasi gereja
di Indonesia, bahwa ada beberapa gereja tentang pengkaderan ini masih sangat memprihatinkan.Banyak pemimpin gereja tidak mau mengkader kepemimpinan berikutnya dengan berbagai alasan, salah satu diantaranya, apabila dikader atau diberikan kesempatan studi lanjut maka akan tampil nanti sebagai”saingan” dalam kepemimpinan berikutnya.Masih cukup banyak juga para pemimpin yang sudah memimpin dan malah umurnya sudah tua, tetapi masih tetap punya keinginan memimpin dan tanpa memberikan kesempatan kepada generasi yang lebih muda. Kalau karakter dan paragima seperti ini masih melekat pada para pemimpin gereja, maka timbul pertanyaan apa bedanya dengan kepemimpinan politis di tengah- tengah masyarakat Indonesia.”
Padahal dalam sebuah organisasi pergantian kepemimpinan dapat terjadi untuk lebih meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari sebuah organisasi. Untuk sebuah organisasi modern, suksesi merupakan hal yang sudah diatur dalam sebuah sistem yang tertata dengan baik. Mekanisme pergantian pemimpin telah diatur dengan baik dalam Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga dari organisasi itu.
Gereja yang merupakan sebuah bentuk organisme sekaligus juga sebuah organisasi perlu untuk menerapkan sistem manajamen pergantian kepemimpinan dengan baik dan benar. Namun ditenggarai, banyak gereja yang masih memiliki sistem manajemen “tradisional” dan bukan manajemen “modern”, hal ini dapat dilihat dari tidak jelasnya aturan dalam suksesi kepemimpinan di gereja. Gereja tidak memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dan tidak memuat aturan mengenai suksesi kepemimpinan di gereja tersebut sehingga suksesi kepemimpinan dalam gereja akhirnya ditentukan langsung oleh gembala sidang. sehingga gembala sidang dapat bertindak sesuai dengan keinginan hatinya Gembala sidang sering tidak memperhatikan aspek kompetensi dan kapabilitas dari penggantinya dan yang sering terjadi adalah para suksesor merasa tidak “siap” dalam menggantikan peran dari pemimpin sebelumnya. Faktor hubungan kekerabatan seperti hubungan keluarga atau hubungan saudara sering dijadikan sebagai faktor penentu utama dalam memilih seorang suksesor.
Memang model suksesi yang ditentukan oleh faktor hubungan kekerabatan tidak selalu berjalan dengan buruk, namun tidak jarang ditemui gereja mengalami banyak konflik disebabkan karena suksesi yang tidak berjalan dengan mulus. Sebagian jemaat tidak puas dengan pemimpin baru yang dianggap tidak memiliki kapabilitas untuk memimpin gereja sehingga menimbulkan gejolak internal di dalam gereja. Situasi ini dapat diperparah jika pemimpin baru tersebut tidak mampu merendam situasi yang ada. Pada akhirnya gereja dapat mengalami perpecahan.
Gap atau jurang kapabilitas antara pemimpin lama dengan pemimpin baru akan semakin lebar apabila pemimpin lama tidak pernah melakukan proses kaderisasi untuk menyiapkan para pemimpin baru. Para pemimpin lama hanya berfokus kepada pekerjaan pelayanan tanpa memiliki agenda untuk melakukan kaderisasi.
Gereja yang bertipe kepemimpinan episkopal, dimana gembala merupakan pemimpin puncak dari organisasi gereja, sering kali hanya berpikir untuk menyiapkan anak sebagai penerus kepemimpinannya. Gembala tersebut menjadikan anaknya seperti ”pangeran” yang akan meneruskan kepemimpinan dari ayahnya. Sehingga apabila gembala tersebut sakit atau meninggal dunia maka otomatis anak yang akan meneruskan kepemimpinan di dalam gereja tersebut.
Gembala sidang yang menjadikan anak sebagai penggantinya beranggapan bahwa jabatan gembala sidang merupakan “warisan rohani “ dari ayah kepada anak. Anak akan menerima”warisan rohani” yang diberikan oleh ayah sebagai gembala sidang di gereja tersebut. Situasi seperti itu membuat sebagian anak- anak gembala sidang menjadi “tertekan” disebabkan adanya tuntutan bahwa anak gembala harus menggantikan ayahnya untuk menjadi seorang gembala sidang. Sebagian anak-anak dari gembala sidang yang merasa tidak memiliki panggilan sebagai seorang gembala sidang akan terjebak dalam sebuah dilema besar. Sebuah dilema antara mengikuti perintah ayahnya atau mengikuti “kata hati”.
Panggilan untuk menjadi seorang gembala sidang adalah sebuah panggilan yang bersifat pribadi dan tidak hanya dibatasi oleh karena adanya silsilah keluarga hamba Tuhan. Para pemimpin yang bijak tidak akan “memaksa” anak untuk menjadi seorang gembala sidang dan memimpin sebuah gereja, namun lebih membebaskan anak tersebut untuk menentukan pilihannya.
Model suksesi ayah kepada anak perlu dikaji lebih dalam, apakah merupakan sebuah model yang efektif dalam suksesi kepemimpinan di sebuah gereja? Sebab model suksesi ayah kepada anak dianggap sudah menjadi model yang “kuno” dan tidak lagi relevan dengan kondisi jaman sekarang ini. Sebagian orang menyatakan bahwa suksesi ayah kepada anak merupakan bentuk “monarki “ dalam gereja. Padahal sejatinya, gereja adalah bagian dalam kerajaan Allah dan bukan sebuah bentuk “kerajaan pribadi”. Sehingga pemilihan anak sebagai pengganti ayah merupakan cermin dari bentuk monarki dalam gereja. Para penentang model suksesi ayah kepada anak, beranggapan bahwa di Alkitab suksesi ayah kepada anak hanya terjadi pada raja-raja di Israel seperti Daud kepada Salomo dan tidak terjadi kepada rakyat biasa.
Bagi sebagian orang yang menentang model suksesi ayah kepada anak, mengusulkan agar pemilihan pemimpin baru menggunakan model demokrasi yaitu melalui pemungutan suara / voting yang dianggap lebih mengakomodir kepentingan semua orang. Atau pemilihan pemimpin baru dengan model fit and
proper test yang dilakukan oleh perwakilan jemaat untuk menilai kapasitas dari calon pemimpin yang baru tersebut. Kondisi jaman yang sarat dipenuhi dengan informasi dan pengetahuan, membuat jemaat memiliki wawasan yang lebih luas sehingga kebebasan untuk menyampaikan pendapat perlu dihargai oleh para pemimpin gereja.
Bagi gereja yang tetap menggunakan model suksesi dari ayah kepada anak, maka di lain sisi adalah apakah anak sebagai susksesor memiliki kemampuan memimpin sebaik ayahnya atau bahkan lebih baik dari ayahnya? Atau apakah kepemimpinan anak lebih buruk dari kepemimpinan ayahnya? Sebagai seorang anak yang merupakan suksesor dari ayahnya sering dibayang- bayangi oleh “nama besar” dari ayahnya. Jemaat sering melakukan “benchmark” aantara anak dan ayahnya. Sikap ini membuat situasi menjadi tidak nyaman, terutama bagi anak sebagai pengganti ayahnya.
Kepemimpinan Anak yang menggantikan Ayahnya sering dianggap sebagai kepemimpinan yang belum teruji disebabkan karena hanya mendapatkan “hadiah” dari Ayahnya dan tidak melalui jalan terjal dari bawah. Tidak sedikit orang meragukan bahwa Anak yang menggantikan Ayahnya akan memimpin gereja sesukses Ayahnya. Anak yang menggantikan ayahnya dianggap belum “matang” karena tidak melalui proses yang sulit seperti yang dialami oleh Ayahnya. Para Ayah biasanya adalah para perintis gereja yang memulai gereja dari nol sehingga memiliki jemaat sampai ribuan orang dan sudah memiliki pengalaman pahit getir dalam membangun pelayanan, dan pengalaman tersebut yang tidak dimiliki oleh sang Anak sebagai pengganti ayahnya. Pandangan bahwa mempertahankan sesuatu yang baik yang sudah dibangun oleh sang Ayah merupakan perkara yang sulit dilakukan oleh sang Anak, membuat orang menjadi skeptis dengan para Anak gembala sidang yang menjadi pengganti/suksesor Ayahnya.