FALSE FATHERING AYAH YANG TERLALU MEMANJAJAKAN ANAKNYA
BAGIAN 1
Ditulis Oleh: Ir. Dwi Putranto, MTh.
Alumni Magister Teologi STT LETS Tahun 2020
Kondisi kaum milenial saat ini memunculkan pertanyaan dimana hasil dari didikan orang tua, khususnya Ayah. Mengapa ada anak yang mengikuti teladan Ayahnya, ada pula yang tidak? Seberapa kuat teladan ortu mendidik anak-anak ketimbang lingkungannya? Jika kita mencermati kisah ‘Anak yang Hilang’, kita tidak berani menilai Sang Ayah karena dia merefleksikan Bapa Sorgawi. Tapi jika kisah itu kisah seorang manusia, bukan Tuhan, apakah kita setuju dengan tindakan sang Ayah?. Mari kita ceritakan ulang kisah ‘anak yang hilang’ dengan penggambaran yang berbeda. Bayangkan bahwa saudara diposisikan sebagai sahabat sang Ayah, dan anggaplah kita tidak tahu tentang kisah itu dan endingnya, jadi saudara berperan sebagai diri sendiri, tidak memihak kepada siapapun.
Adalah seorang kaya di kota saudara, katakan namanya Pak Yos. Dia punya 2 anak laki-laki: Agung si sulung, dan Bejo si bungsu. Pak Yos punya bisnis peternakan dan perkebunan yang berhasil. Dia membangun bisnis itu untuk diwariskan kepada anak-anaknya, tapi hanya Agung yang memiliki passion untuk melanjutkan bisnis Ayahnya. Pak Yos tidak membanding-bandingkan anak-anaknya, dia memberikan hak yang sama dan nilai ajaran yang sama. Tetapi respon anak-anaknya berbeda satu dengan yang lain.
Suatu hari si bungsu, Bejo datang ke Ayahnya. Dia minta agar harta Ayahnya langsung dibagi dua, karena dia punya mimpi dan rencana hidupnya sendiri. Bingunglah sang Ayah, lalu dia minta pendapat saudara sebagai sahabat. Apakah saran yang akan saudara berikan? Mungkinkah saudara menyarankan agar pak Yos memberikan apa yang diminta si bungsu? Pasti tidak mungkin. Kemungkinan besar inilah saran saudara ke pak Yos:
“Bro, jangan sekali-kali kamu berikan apa yang diminta si bungsu. Kurang ajar benar dia. Ayahnya masih hidup sudah minta warisan. Kamu jangan memanjakan dia. Makin kurang ajar dia, ga menghargai Ayahnya, atau malahan dia berharap kamu segera mati? Kalau kamu iyakan apa yang dia minta, kamu pasti menyesal.”
“Ada apa dengan Bejo? Kenapa dia ga seperti kakaknya? Lihat tuh Agung. Rajin dan patuh dengan orang tua. Bejo kerjanya cuman foya-foya. Jangan percaya dengan dia. Aku ga yakin dia bisa sukses. Sekali lagi, jangan pernah kamu berikan apa yang dia minta.”
Betapa kesalnya kita dengan si bungsu. Bagi kita itu adalah produk gagal. Salah asuhan dan akibat terlalu dimanja. Pasti saudara ingin saran saudara diikuti pak Yos sebagai sahabat. Tapi di luar dugaan, pak Yos memberikan apa yang diminta si bungsu. Bejo mendapatkan setengah dari harta Ayahnya, lalu pergi merantau. Ketika saudara mendengar hal itu, kira-kira bagaimana respon saudara?
“Astaga, Yos! Gila kali kamu! Ngapain kamu berikan itu ke Bejo? Kamu tidak mendengar aku sama sekali. Kamu salah besar! Lihat saja akibatnya. Jangan kamu curhat ke aku jika ada apa-apa. Percuma aku ga kamu dengar.”
Saudara pasti marah besar dan kecewa berat. Meski itu bukan uang kita, tapi pastilah kita kesal. Lalu ternyata semua yang saudara perkirakan terjadi. Tersiarlah kabar bahwa si bungsu hidup foya-foya hingga uangnya habis. Mungkin saudara akan menahan geram sambil menganggap diri saudara benar karena sesuai prediksi saudara.
“Apa ku bilang? Kamu ga pernah mau dengar aku. Sekarang rasakan sendiri akibatnya. Ga usah curhat ke aku, kesal aku. Kasihan sekali kamu!”
Pak Yos terdiam kelu. Perasaan bersalah berkecamuk. Dia merasa terpojok. Tidak ada satupun yang menghibur dia. Istrinya, anaknya yang sulung, orangtuanya, dan sahabat-sahabatnya, semua menyalahkan dia. Semua mengutuk Bejo. Semua menyalahkan pak Yos yang terlalu lembek dengan anaknya. Perasaan marah dan kecewa menghantui dia hari ke hari. Tapi ada satu perasaan yang mengalahkan rasa kecewanya, yaitu kangen. Dia kangen berat dengan si bungsu. Suatu perasaan yang hanya dia rasakan. Hingga suatu hari yang cerah…
Sewaktu pak Yos sedang bekerja sebagaimana biasanya, tiba-tiba salah seorang pekerjanya berlari-lari mendapati dia dan berseru bahwa si bungsu pulang. Otomatis semua perasaan marah dan kecewa hilang, digantikan kegairahan karena akan bertemu dengan anaknya yang bungsu. Pak Yos bangkit lari meninggalkan pekerjaannya dan menyongsong anaknya. Bejo berjalan dengan terseok-seok, pakaiannya compang camping, tidak mengenakan sandal dan tubuhnya kotor. Maklum selama ini dia kerja di kendang babi. Badannya kurus kering tidak terurus. Pak Yos tidak peduli, dia memeluk anaknya dengan erat sekali sambil mencucurkan air mata. Bejo menolak untuk dipeluk, dia malu sekali, tapi Ayahnya tetap memeluk dia erat-erat. Lalu pak Yos memerintahkan pekerjanya untuk mengambilkan jubah yang terbaik, cincin dan sepatu serta menyembelih dan memasak lembu yang tambun untuk merayakan kepulangan anaknya: anaknya yang gagal, anaknya yang rusak, anaknya yang kurang ajar, anaknya yang salah asuhan. Si gagal pulang, mandi, bercukur, mengenakan jubah, cincin dan sepatu.
Ketika si sulung pulang dari ladang, dia bingung mendengar hiruk pikuk di rumahnya. Musik riang berdentam-dentam dan orang lalu lalang dengan bergembira. Begitu dia mendengar bahwa kepulangan adiknya yang hidupnya kacau dirayakan dengan pesta, marah besarlah dia. Agung menolak masuk ke rumah, sehingga Ayahnya keluar menjemput dia. Sekali lagi, bukan anaknya yang mendatangi dia, tapi dia yang mendatangi anaknya. Agung berkata dengan penuh amarah kepada Ayahnya:
“Papa keterlaluan. Aku tidak pernah mengecewakan papa. Aku mengikuti apa yang papa perintahkan dan bertahun-tahun aku bekerja keras melayani papa. Tapi bahkan tidak pernah sekalipun papa memberikan seekor kambing pun buat aku berpesta dengan sahabat-sahabatku. Tapi si kurang ajar ini, yang sudah menghabiskan warisan papa untuk foya-foya dan main pelacur, malahan dipestakan. Apa-apaan sih Pa?”
Pak Yos memeluk anaknya dengan mesra.
“Gung, kamu kan selalu sama papa. Semua yang papa miliki adalah milikmu. Kamu tidak perlu minta izin untuk berpesta dengan sahabat-sahabatmu. Memang benar yang kamu katakan, adikmu itu hidupnya kacau. Tapi hari ini dia pulang kembali, dia hidup kembali. Inilah kebahagiaan papa yang lebih hakiki bahwa anak papa kembali kepada papa. Ayo bergembiralah bersama papa.”
Lalu, seorang tetangga pak Yos datang menemui saudara menceritakan kejadian hari itu. Bagaimana respon saudara? Apakah saudara ikut bergembira atau makin kesal? Coba kita jujur. Mungkin saudara akan langsung telpon pak Yos.
“Yos, bebal sekali kamu! Tidak pernah belajar dari pengalaman. Bagaimana anakmu bisa kapok kalau sikapmu begitu? Kamu mencontohkan sikap Ayah yang tidak tegas dan terlalu memanjakan anak. Kalau dia anak aku, sudah aku tampar dia, supaya dia sadar. Kalau sikapmu begitu, jangan salahkan dia kalau dia jatuh lagi ke dosa yang sama! Ga habis pikir aku”.
Bukankah kita akan merespon hal yang sama jika kita menjadi sahabat pak Yos? Lalu menurut saudara, mungkinkah suatu kali kelak si bungsu akan jatuh lagi ke dosa yang sama atau bertobat sepenuhnya? Memang tidak dikisahkan kelanjutannya, berarti ada 2 kemungkinan: Bejo bertobat dan bekerja membantu Ayahnya segenap hati atau dia jatuh lagi ke dosa yang sama. Pertanyaan saya adalah jika ternyata Bejo kembali melakukan kesalahan yang sama, apakah ketika dia minta ampun ke Ayahnya, sikap pak Yos tetap sama atau kali ini dia tampar anaknya? Hanya saudara dan Tuhan yang tahu jawabannya versi saudara.
Para pengkotbah seringkali mengambil intisari cerita itu dari sudut si bungsu: jika kita berpaling dari Tuhan dan gagal, bertobatlah dan kembalilah kepada Bapa. Tangan-Nya terbuka menerima kita betapapun besarnya dosa kita. Juga dari sudut sang Ayah: Allah Bapa selalu terbuka dalam mengampuni semua kesalahan kita, asalkan kita Kembali kepada-Nya dengan segenap hati. Atau dari sudut si kakak: betapa sering kita seperti si sulung yang cemburu dan merasa sudah banyak ‘memberi’ dan ‘berkorban’ tetapi tidak menerima yang seharusnya kita terima. Semuanya benar, tetapi kesimpulannya pasti sama: Allah Bapa maha pengampun sehingga Dia selalu memberi pengampunan dan menerima kita kembali ASALKAN (Nah, syarat ini pasti ditekankan!) kita bertobat dengan sungguh-sungguh. Maka disimpulkan mengapa sang Ayah menjemput anak bungsunya kembali? Oleh karena sang Ayah tahu bahwa anaknya menyesal dan bertobat dengan sungguh-sungguh. Tapi tunggu dulu…
Kita menyikapi kisah itu karena kita tahu bahwa Ayahnya menggambarkan Bapa Sorgawi dan si bungsu menggambarkan kita yang gagal atau berdosa. Jelaslah Bapa tahu apakah kita bertobat dengan sungguh-sungguh atau tidak, karena Dia Tuhan. Tapi kalau kita mendudukkan kisah itu lebih membumi, maka akan berbeda. Sang Ayah adalah manusia biasa. Saat itu tidak ada whatsapp atau media sosial sehingga dia tidak tahu seberapa menyesal anaknya. Ketika anaknya pulang, sang Ayah menjemputnya bukan karena dia tahu bahwa anaknya menyesal dan bertobat sungguh-sungguh. Sang Ayah menjemputnya karena KASIH dan KANGEN. Dia tidak peduli anaknya bertobat dengan sungguh-sungguh atau tidak. Dia bukan Ayah yang ketika diberitahukan bahwa anaknya yang kacau itu pulang langsung memasang wajah garang dan mengambil rotan untuk menggebuk anaknya. Bisakah saudara menerima kenyataan bahwa Bapa Sorgawi menyongsong kita yang kembali pada-Nya TANPA SYARAT? Semata-mata karena kasih dan rindu.
Ide ini sulit diterima. Allah Bapa kita bukan semata-mata penuh kasih karunia, tapi Dia juga Allah pencemburu. Betul sekali. Tapi kalau kita cermati seluruh Alkitab, ada satu hal yang paling dibenci Allah, yaitu menyembah allah yang lain. Itulah mengapa di 10 perintah Allah, perintah pertama adalah “Jangan ada padamu allah-allah lain di hadapan-Ku” (Ul 5:7). Yang disebut ‘allah-allah lain’ bukan hanya sekedar sesembahan atau agama lain, melainkan segala hal yang prioritasnya mengungguli Allah. Itu bisa keluarga, pekerjaan, hobby, gaya hidup, uang dan bahkan pelayanan atau gereja kita. Ketika seseorang jatuh dalam dosa, jika dibiarkan itu bisa mengarah kepada habbit/kebiasaan yang lambat laun akan mengungguli Tuhan. Sikap hati menggampangkan kemurahan Tuhan pun dapat membuat Tuhan cemburu (Kel 34:14). Tapi bukan dosa yang membuat Tuhan cemburu, karena Tuhan tahu pasti manusia itu mempunyai kecenderungan untuk berbuat dosa (Rom 3:23, Rom 7:18-19). Kalau dosa bikin Tuhan cemburu, tidak ada seorang pun dari kita yang selamat dari murka Tuhan. Karena Tuhan tahu kita tidak berkuasa mengalahkan dosa, maka Dia sendiri yang turun sebagai manusia.
Para penganut ‘kasih karunia bersyarat’ menyerang ‘kasih karunia berlebihan’ dengan mengatakan bahwa kaum hypergrace menggampangkan kemurahan Tuhan. Kaum conditional grace tetap menekankan tentang pentingnya hidup kudus sebagai persyaratan mendapatkan kasih karunia. Sebenarnya kedua doktrin tersebut benar jika diterapkan secara tepat. Tuhan memang memiliki kasih karunia yang berlebihan, akan tetapi jika kita memandangnya dengan murah dan bertindak sembrono, kita jadi salah. Benar juga Tuhan menghendaki hidup kudus, akan tetapi jika kita memandang perbuatan kudus melebihi iman kita, itu juga salah. Tahukah saudara jika kita tidak percaya bahwa kemurahan Tuhan mengatasi semua dosa dan kesalahan kita, maka itu sangat mendukakan hati-Nya?
Bagaimana sekarang kita memandang sang Ayah dalam kisah anak yang hilang? Setujukah saudara bahwa Bapa Sorgawi yang terlebih dahulu berlari menyongsong kita yang mau kembali kepada-Nya, tidak peduli seberapa dalam kita sudah jatuh, karena yang menggerakkan hati-Nya adalah kasih dan rindu kepada kita? Masihkah kita memandang murah kasih karunia-Nya?
Daftar Pustaka
Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, 2017, Jakarta