FALSE FATHERING, Bagian II

488 views

FALSE FATHERING

Bagian II

Buah Jatuh Tidak Jauh Dari Pohonnya, Benarkah?

Ditulis oleh: Ir. Dwi Putranto MTh

 

PENDAHULUAN

Ada pepatah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” yang artinya adalah perilaku seorang anak meniru dari perilaku orang tuanya. Dalam beberapa segi ada benarnya, misalnya seseorang yang dilahirkan dalam keluarga yang memegang budaya tertentu, sudah barang tentu akan hidup sesuai dengan budaya tersebut yang ujung-ujungnya akan mengajarkan hal yang sama ke generasi selanjutnya. Tetapi apakah selalu demikian?  

Alkitab adalah sebuah kitab yang sangat jujur. Kisah sejarah yang tertulis di dalamnya benar adanya dan dapat dibuktikan dengan kajian naskah-naskah kuno lainnya atau situs-situs arkeologi di wilayahnya. Banyak hal yang menarik untuk ditelaah dan dikaji lebih dalam tentang silsilah dan perilaku generasi ke generasi berikutnya. Ayah yang ‘benar’ ternyata tidak selalu melahirkan anak yang ‘benar’, demikian pula sebaliknya. Saul adalah ayah yang jahat, tetapi Yonatan anaknya adalah orang benar.

Imam Eli dan Samuel hidup kudus di hadapan Tuhan. Akan tetapi teladan yang diberikan mereka tidak menurun ke anak-anak mereka. Anak-anak hidup durjana, menyalahgunakan jabatan dan tidak taat. Akibatnya mereka tidak mendapatkan warisan ilahi yang seharusnya mereka terima. Apakah teladan ayah mereka tidak sampai atau tidak terlihat oleh anak-anaknya? Daud menjadi contoh menarik. Dia bertumbuh tanpa teladan orang tuanya karena dia anak yang tertolak dan terbuang.

Tapi sepanjang dia diabaikan, justru hatinya melekat pada Tuhan sehingga Tuhanlah yang menjadi Bapa nya. Dia tumbuh tidak mewarisi nilai-nilai ayah kandungnya, yang di kemudian hari ketika dia punya anak, dia tidak memiliki panutan seorang ayah jasmani. Dia cenderung memanjakan Adonia (I Raj 1:6) – mungkin alasannya bahwa dia tidak mau anak-anaknya mengalami masa kecil seperti dia – tapi akibatnya Adonia memberontak terhadap dia. Demikian pula anak-anaknya yang lain, kecuali Salomo. Apakah Salomo dididik berbeda dengan yang lain? Tampaknya tidak. Hanya satu yang pasti: ibu anak-anak Daud berbeda-beda.

 

PEMBAHASAN

Bagaimana dengan potret lainnya? Mari kita lihat silsilah raja-raja Yehuda dan Israel. Ada banyak hal yang bisa dicermati.

Silsilah Raja-raja Yehuda dan Israel

Kotak hitam adalah raja yang semasa hidupnya jahat, menyimpang jauh dari Tuhan. Kotak hijau adalah raja yang takut akan Tuhan, hidup sesuai perintah Tuhan. Sedangkan kotak kuning adalah raja yang semasa hidupnya berubah, baik sebelumnya takut akan Tuhan berubah tidak setia, maupun yang sebelumnya tidak taat bertobat menjadi hidup benar.

Jika tabel di atas dicermati, maka ada beberapa hal yang dapat kita simpulkan atau menantang untuk dikaji lebih dalam, yaitu:

  1. Ayah yang baik, belum tentu menghasilkan keturunan yang baik, demikian pula sebaliknya. Abia, Yotam, Hizkia dan Yosia adalah raja-raja yang takut akan Tuhan, akan tetapi anak-anak kandung mereka ternyata tidak mewarisi perilaku ayahnya, melainkan malahan hidup jauh dari Tuhan dan bahkan menentang perintah Tuhan.
  2. Ayah yang buruk ternyata lebih mudah menduplikasikan perilakunya ke anak-anaknya. Anak lebih mudah meniru contoh yang buruk dari ayahnya. Sebagian besar raja-raja yang jahat melahirkan anak-anak yang jahat pula, kecuali beberapa raja seperti Rehabeam, Uzia, Ahas dan Amon, mereka melahirkan raja-raja yang takut akan Tuhan.
  3. Ada raja yang berubah menjadi setia atau sebaliknya menjadi tidak setia menunjukkan bahwa pengaruh lingkungan dapat mengubah perilaku seseorang, bahkan seorang raja sekalipun. Dan tampaknya yang paling efektif mengubah seseorang adalah orang terdekatnya, yaitu istri atau suami.

Jika demikian, maka apakah peran Ayah dalam menghasilkan keturunan yang meneladani ayahnya tidak efektif? Menarik untuk disimak bahwa dalam kitab Raja-Raja I dan II serta Tawarikh I dan II sebagian besar menyebutkan nama ibu mereka. Ibu terkadang tidak mendapat tempat dalam penyebutan di Alkitab, apalagi jika mengingat budaya Yahudi yang mengutamakan garis Ayah (Patriach). Berarti jika nama Ibu-Ibu mereka disebutkan, maka tentunya ada pesan penting di dalamnya.

Pada budaya Yahudi pada masa lampau, khususnya dalam kehidupan seorang Raja, anak-anak tidak memiliki hubungan yang lekat dengan ayahnya. Seorang Raja memiliki tanggung jawab yang besar bagi kerajaan dan bangsanya. Berperang dan memimpin adalah tugas utama seorang raja, melebihi fungsinya sebagai ayah. Maka dapat disimpulkan bahwa anak-anak raja akan tumbuh dalam bimbingan ibunya, bukan ayahnya. Pengaruh terbesar yang akan membentuk perilaku seorang anak pada masa tuanya diemban oleh Ibu. Itulah mengapa nama ibu-ibu mereka dicantumkan. Sangat terlihat jika ibunya bukan seorang Israel yang mengenal TUHAN, maka anak-anaknya cenderung menjauh dari TUHAN. Salomo berbeda dari saudara-saudaranya, meski diperlakukan sama, yaitu dia dididik ibu yang berbeda.

Budaya itu terus berlanjut hingga masa Perjanjian Baru. Terlihat bagaimana Ibu anak-anak Zebedeus, yaitu Ibu dari Yakobus dan Yohanes, sangat dominan membela anak-anaknya. Hubungan mereka lebih dekat ke Ibu daripada Ayah (dimanakah pak Zebedeus berada?). Seakan-akan Ayah hanya memberikan warisan nama keluarga, sedangkan keseharian bersama dengan Ibunya. Budaya ini berlanjut hingga hari ini di bangsa-bangsa Timur Tengah. Seorang teman yang baru pulang dari Arab Saudi (bukan untuk tujuan ibadah) mendapati bahwa rumah-rumah orang Arab disekat sedemikian rupa, karena seorang Ayah tidak diizinkan ke ruangan belakang (dapur) dan seorang Ibu serta anak-anak tidak diizinkan ke ruang depan, apalagi ketika ayahnya sedang ada tamu. Jelas karena interaksi yang berkelanjutan, seorang anak di Timur Tengah lebih mewarisi nilai-nilai ibunya. Bukankah budaya di sebagian besar suku di Indonesia juga demikian?

Timotius dijelaskan mewarisi iman Ibu dan neneknya, mempertegas peran seorang Ibu dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan (2 Tim 1:5). Timotius menjadi orang yang luar biasa karena didikan Ibu dan neneknya. Warisan nilai ayahnya tidak ditekankan, atau malahan tidak ada. Banyak tokoh agama Kristen yang masih menganut dosa ayah hingga turunan ke empat, sesuai dengan sepuluh perintah Allah (Ul 5:9). Ini menjadi dosa turunan, selain dosa turunan Adam, yang mau tidak mau harus diemban anak karena ayahnya berdosa. Kita kerap mendengar orang berkata:” Itulah harga yang harus dibayar anaknya, lha wong ayahnya seperti itu.” Tidak tahukah saudara bahwa kutuk keturunan seperti itu sudah dibatalkan di kayu salib?

 

Sesaat menjelang Tuhan Yesus wafat di kayu salib, Dia harus menuntaskan nubuatan yang terakhir, yaitu harus minum ‘anggur asam’ (Yoh 19:28-30). Anggur asam adalah bicara tentang kutuk, khususnya kutuk keturunan.

Yer 31:29-30: “Pada waktu itu orang tidak akan berkata lagi: Ayah-ayah makan buah mentah, dan gigi anak-anaknya menjadi ngilu, melainkan: Setiap orang akan mati karena kesalahannya sendiri; setiap manusia yang makan buah mentah, giginya sendiri menjadi ngilu.” Yang diterjemahkan sebagai ‘buah mentah’ dalam KJV adalah ‘sour grape’ atau anggur asam. Jadi Tuhan Yesus meminum anggur asam untuk menggenapi dan mengambil alih (bukan membatalkan, tapi menyelesaikannya) kutuk keturunan yang ada pada Sepuluh Perintah Allah. Nabi Yehezkiel menekankan hal ini Kembali dalam Yeh 18:2-3 dimana perikopnya tertulis “Setiap manusia bertanggung jawab atas dirinya”.

 

PENUTUP

Apa inti dari ajaran di atas? Bahwa sebelumnya seseorang harus menanggung kesalahan orang tuanya yang tidak dia ketahui, maka Tuhan Yesus telah mengambil alih kutuk keturunan itu sehingga bagi kita yang percaya akan karya Salib Tuhan Yesus tidak lagi menanggung kutu katas apa yang dilakukan oleh ayah kita, kakek kita hingga nenek moyang kita. Ajaran yang kedua adalah bahwa setiap orang bertanggung jawab dan harus menanggung kesalahannya masing-masing.

Sebagai seorang Ayah atau Ibu, kita ingin mendidik anak-anak kita sesuai dengan nilai-nilai Kristiani. Bagian kita adalah membagikan kebenaran Alkitab ke anak-anak kita melalui pengajaran dan teladan hidup. Akan tetapi anak-anak memiliki kehendak bebas. Seperti Yakob dan Esau, respon mereka berbeda terhadap didikan Ishak dan Ribka. Kita tidak bisa mencari-cari kesalahan atau kegagalan Ishak dan Ribka dalam mendidik mereka, akan tetapi kisah tersebut mengajarkan bahwa meskipun didikannya sama, respon Esau dan Yakob tergantung diri mereka sendiri. Kita sendiri berbeda dengan saudara-saudara sekandung kita, meski Ayah dan Ibu mengajarkan hal yang sama dan tidak membeda-bedakan. Itulah kekayaan dan keunikan perbedaan yang Tuhan berikan.

Hidup seseorang adalah misterinya Tuhan. Semua yang bisa dikontrol (controllable) adalah bagian kita, sedangkan yang tidak bisa dikontrol (uncontrollable) adalah bagian Tuhan. Kita bisa mengatur hidup kita lebih efektif, efisien dan menghasilkan, tetapi selanjutnya Tuhan yang ambil alih. Bagian kita adalah mendidik anak-anak kita dengan nilai-nilai kebenaran, tapi pilihan ada pada anak kita. Memilih mengikuti nasihat dan teladan orangtua juga pilihan seorang anak (controllable), sehingga bukan karena salah didik, seorang anak bisa saja memilih untuk mengikuti ajaran atau nilai-nilai yang salah dari pihak lain. Sebagai orangtua sejauh kita sudah melakukan bagian kita, jangan merasa bersalah jika anak-anak kita memilih yang lain, tetapi percayalah bahwa kita punya Tuhan yang akan melakukan bagian-Nya yang uncontrollable yaitu bahwa apa yang sudah kita tanamkan akan berhasil dan tidak akan terbuang dengan sia-sia.

 

Daftar Pustaka

Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2017

https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Yehuda diakses 26 Juli 2021, pukul 21:00 wib

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Please Contact STT LETS...!