REVIVAL FATHERING, Bagian III: Pemulihan Bapa – Anak

370 views

REVIVAL FATHERING

Bagian III: Pemulihan Bapa – Anak

Ditulis Oleh:

Ir. Dwi Putranto, MTh – Alumni Pasca Sarjana STT LETS

Dalam tulisan yang pertama, saya menyampaikan sisi yang berbeda dari kisah Anak yang Hilang (Luk 15:11 – 32), yaitu dari sisi sang Ayah. Gereja banyak menyorot dari sisi si anak bungsu yang menggambarkan manusia yang jauh sedalam apapun jika kembali ke Bapa pasti disambut dengan penuh pengampunan dan sukacita. Sisi sang Ayah menggambarkan Bapa Sorgawi yang selalu menerima kita apa adanya tanpa syarat. Akan tetapi sesungguhnya banyak yang tidak bisa menerima sikap sang Ayah yang dinilai terlalu longgar, lembek dan lunak ke anak bungsunya. Dalihnya adalah jika tidak dihukum maka si anak bungsu akan hidup seenaknya dan tidak ada efek jera. Tapi itulah Bapa kita yang di Sorga. Dalam tulisan yang kedua, saya menyampaikan fakta Alkitab tentang tokoh-tokoh Alkitab dan para raja yang ternyata menunjukkan bahwa ayah yang baik dan takut akan Tuhan tidak selalu melahirkan anak-anak yang baik dan takut akan Tuhan pula. Demikian pula sebaliknya, ada anak-anak yang baik dan takut Tuhan memiliki ayah yang jahat dan penyembah berhala. Intinya adalah bagian kita sebagai orang tua untuk menanamkan nilai-nilai Alkitabiah yang benar, akan tetapi pilihan tetap ada pada anak tersebut.

Hubungan bapak – anak adalah sepenuhnya ide Allah. Keluarga adalah Lembaga pertama yang Tuhan bentuk. Tuhan menciptakan manusia sebagai anak-anak-Nya. Akan tetapi karena dosa, rencana Tuhan menjadi rusak. Keluarga pertama yang harusnya menjadi model sebuah keluarga ideal malah penuh drama. Suami yang tunduk pada istri, pembunuhan saudara sekandung hingga retaknya hubungan antar anggota keluarga. Maka Tuhan membuat rencana kedua yaitu memulihkannya melalui Yesus, yang dinamakan ‘keturunan perempuan’. Sesudah kejatuhan manusia dalam dosa, secara turun temurun dosa asal ini juga membuat kekacauan dalam keluarga. Sebagaimana tulisan kedua, keluarga-keluarga para tokoh Alkitab juga diliputi drama. Mulai dari keluarga Nuh, keluarga Abraham dan seterusnya. Hubungan bapa – anak rusak total. Maka visi pemulihan hubungan tersebut dinubuatkan oleh nabi Maleakhi sebagai penutup dari kitab-kitab di Perjanjian Lama.

Sangat menarik untuk dicermati ayat dalam Yes 1:2, yang berbunyi: “Dengarlah, hai langit, dan perhatikanlah, hai bumi, sebab TUHAN berfirman: “Aku membesarkan anak-anak dan mengasuhnya, tetapi mereka memberontak terhadap Aku.” TUHAN mengklaim diri-Nya sebagai Bapa dari bangsa Israel, bukan hanya sebagai Allah. Tuhan membesarkan dan mengasuh Israel, tetapi anak-anak-Nya memberontak terhadap Dia. Israel memberontak bukan karena salah asuhan, apalagi dengan menyalahkan Tuhan sebagai ‘Bapa yang gagal mendidik anak-Nya’. Israel memberontak karena mereka memilih untuk memalingkan muka dari Tuhan, memberontak dan mengikuti dunia. Pesan yang sangat luar biasa adalah bahwa meski anak-anak-Nya memberontak, Tuhan sebagai Bapa tetap memperhatikan dan rindu mereka kembali. Tuhan tidak menghukum mereka secara langsung, melainkan mengajarkan bahwa dari keputusan yang mereka ambil ada konsekuensinya. Mereka terhukum oleh keputusan dan kesalahan mereka sendiri. Pesan kedua yang juga luar biasa adalah bahwa Tuhan menghargai kehendak bebas yang manusia miliki. Meski mereka memberontak dan memilih jalannya sendiri, tetapi Tuhan tidak mengintervensi pilihan tersebut. Demikian pula kita sebagai manusia memiliki kehendak bebas, dan meski kita salah dalam mengambil keputusan, Bapa menghargainya dan melatih kita untuk bertanggung-jawab terhadap pilihan kita sendiri.   

Mal 4:5-6 berbunyi: “Sesungguhnya Aku akan mengutus nabi Elia kepadamu menjelang datangnya hari TUHAN yang besar dan dahsyat itu. Maka ia akan membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya supaya jangan Aku datang memukul bumi sehingga musnah.” Nubuatan tersebut diimani dan dipercaya orang Yahudi turun temurun berharap agar Nabi Elia segera datang. Mengapa Nabi Elia? Karena dia tidak mati secara fisik, melainkan diangkat ke Sorga, sehingga wajar bagi umat Yahudi yang menantikan kedatangan ‘Sang Penyelamat’. Ide tentang Mesias yang akan datang untuk menyelamatkan umat Yahudi agak bercampur dengan ajaran-ajaran paganisme pasca pembuangan di Babel, yang akhirnya menganggap bahwa Nabi Elia – lah sang mesias. Kehadiran Yesus jauh dari ekspektasi mereka. Mungkin mereka berharap Mesias akan datang dengan kereta api dari langit sebagaimana Nabi Elia diangkat. Yang ada adalah Mesias yang lahir dari keluarga pengrajin kayu sederhana dan lahir di palungan. Itulah mengapa kelahiran Yesus lebih mudah diterima oleh kaum Majus yang non Yahudi, ketimbang para ulama.

 Nubuatan Nabi Maleakhi harus digenapi. Ketika umat Yahudi sibuk menantikan kedatangan Elia, muncullah Yohanes Pembaptis. Beda dengan Yesus, Yohanes lahir dari keluarga imam, dimana Imam Zakharia adalah tokoh ulama yang dihormati. Tentunya secara finansial keluarga Imam Zakharia cukup mapan. Pun kelahiran Yohanes diawali dengan mujizat, sehingga kehadirannya lebih diterima. Yohanes yang memang sudah ditetapkan sebagai Nabi, mulai melayani dengan terobosan baru yaitu Baptisan Air sebagai lambing pertobatan. Pengajarannya tentang Baptisan Air ternyata lebih mudah diterima kaum Yahudi. Mungkin ini tidak lepas dari status ayahnya. Kedatangan Nabi Elia mulai timbul sebagai khasak-khusuk di kalangan kaum Yahudi. Mereka mulai bertanya-tanya jangan-jangan Yesus itulah Nabi Elia yang datang kembali (Mat 16:14). Di hadapan murid-murid-Nya Yesus berkata bahwa Yohanes Pembaptis-lah nabi Elia yang datang Kembali (Mat 11:13 – 14). Tidak dengan kereta berapi melainkan secara alami sebagai bayi. Kemungkinan kebenaran bahwa Yohanes Pembaptis adalah Nabi Elia kurang dipercayai, sehingga penangkapan dan pembunuhan Yohanes Pembaptis tidak menggoncangkan umat Yahudi. Jika mereka tahu bahwa nabi mereka ditangkap dan dipenggal, bisa saja menimbulkan huru-hara. Sebagai Nabi Elia yang dinubuatkan Nabi Maleakhi, Yohanes Pembaptis datang untuk memulihkan hubungan bapa dan anak. Nubuatan pemulihan itu diartikan sebagai pemulihan hubungan bapa dan anak jasmani. Tidak salah, tetapi lebih dalam lagi nubuatan ini menunjukkan pemulihan hubungan Bapa Sorgawi dengan kita sebagai anak-anak-Nya. Yohanes membuka jalan bagi Yesus, yaitu membuka jalan pemulihan hubungan Bapa dan manusia. Jalan itu terbuka sejak Yohanes membaptis Yesus. Tuhan Yesus mengajak Yohanes Pembaptis untuk bersama-sama menggenapi seluruh kehendak Allah (Mat 3:15), yang menegaskan bahwa Yohanes memiliki peranan penting untuk membuka jalan pemulihan hubungan Bapa – anak. Ketika keluar dari air baptisan, maka Bapa hadir dalam bentuk burung merpati dan berkata: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nya-lah Aku berkenan” (Mat 3:17). Itulah pertama kalinya Tuhan berfirman tentang ‘Anak’ yang melegitimasi hubungan Bapa – Anak yang menjadi ide awal Allah.

Sejak saat itu, Yesus berkeliling untuk mengajarkan tentang status Allah sebagai Bapa. Ide ini bertentangan dengan keyakinan umat Yahudi pada masa itu yang mengajarkan bahwa Allah adalah Allah, Tuhan yang Maha Kuasa, Tuhan yang tidak terhampiri. Jangankan menyebut Dia sebagai Bapa, menyebut TUHAN (YAHWE) saja mereka tidak berani. Mereka memanggil Tuhan sebagai Adonai. Maka Yesus mulai memulihkan status itu dengan mengajarkan bahwa kita adalah anak-anak Bapa di Sorga. Doa yang Tuhan Yesus ajarkan diawali dengan menyebut Tuhan sebagai Bapa kami yang di Sorga, suatu keberanian untuk menyatakan status sebagai anak Allah. Seluruh kitab Injil dipenuhi dengan pengajaran Yesus tentang Bapa, bahwa Yesus dan Bapa adalah satu. Bahwa kita memiliki Bapa yang baik. Pengajaran ini yang menjadi salah satu alasan para ulama dan kaum Farisi menghukum mati Yesus. Dia dianggap musyrik menganggap diri sebagai ‘Anak Tuhan’. Yohanes 10:30 – 33 menggambarkan tentang dialog antara orang-orang Yahudi dan Yesus dimana mereka akan melempari Yesus dengan batu karena pengakuan Yesus bahwa “Dia dan Bapa adalah satu” (Mat 10:30) dan itu dianggap menghujat Allah (Mat 10:33). Pemulihan hubungan Tuhan dengan manusia sebagai Bapa dan anak-Nya benar-benar menohok iman dan ideologi orang Yahudi pada masa itu. Tapi kehendak Allah harus jadi dan digenapi. Selanjutnya kita yang menerima Roh Kudus bisa memanggil Tuhan sebagai Abba Bapa (Rom 8:15. Gal 4:6). Hubungan Bapa – manusia pun dipulihkan, yang berujung pula pada pemulihan hubungan bapa dan anak jasmani.

Era modernisasi mulai mengikis hubungan bapa dan anak jasmani. Budaya Barat mengajarkan bahwa anak umur 17 tahun sudah bebas dan memiliki hak untuk menentukan hidupnya sendiri, termasuk lepas dari pengawasan dan bimbingan orang tua. Secara legal, orang tua sudah tidak memiliki hak untuk mengatur anak-anaknya. Bahkan sekarang anak sudah boleh menggugat hukum ayahnya apabila dinilai melanggar hak dia sebagai anak. Hubungan yang sudah dipulihkan, dirusak Kembali oleh ilah zaman ini. Penanaman nilai Alkitabiah ke anak-anak semakin sulit. Orang tua tidak bisa lagi mengawasi penuh anak-anaknya, dan generasi baru (Generasi X hingga Z) memiliki orang tua baru yaitu media. Media mendidik anak-anak kita dengan lebih menarik, santai dan menyenangkan. Anak-anak kita memiliki pilihan yang lebih luas dan lebih menarik: mengikuti ajaran orang tua atau ajaran dunia melalui media.

Kita sudah di detik-detik terakhir zaman akhir. Kondisi pandemic Covid dan kebebasan bermedia serta issue kesetaraan gender benar-benar meneguhkan bahwa waktu akhir sudah amat sangat dekat. Isolasi di rumah yang meniadakan pertemuan tatap muka, membangun sebuah budaya baru: ibadah online. Dua tahun terakhir ini sudah berhasil membuat sebuah kebiasaaan baru dan kekagokkan jika berinteraksi secara tatap muka. Sedikit demi sedikit manusia – secara alami tanpa paksaan – meninggalkan komunitas ibadah untuk masuk ke era baru yang lebih praktis dan nyaman. Ini tidak bisa dihindarkan. Seorang saudara saya meninggal karena Covid-19 dimana dia tertular dari pertemuan doa di gerejanya pada saat Pemerintah masih melarang tatap muka. Semua mengatakan bahwa lebih bijaksana untuk tidak hadir dalam pertemuan doa daripada hadir. Dunia sudah berubah. Anak-anak kita sudah berubah. Kita pun sebagai orang tua sudah berubah. Mari kita berdoa agar hikmat Tuhan mengalir lebih kuat dalam kita menghadapi kegamangan dunia baru yang sedang kita jalani, serta bagaimana mendidik anak-anak kita dengan nilai-nilai Alkitab yang tak lekang oleh zaman.

Daftar Pustaka

Alkitab, Lembaga Alkitab Indinesia, Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Please Contact STT LETS...!