Stigma Kafir dan Akar Terorisme
(Sebuah Refleksi Kebangsaan)
Oleh
Bambang Noorsena
Setiap terjadi aksi kebiadaban terorisme yang mengorbankan darah sesama, bukan empati terhadap korban yang kita dengar, tetapi yg lebih sering kita baca adalah sikap apologetik berlebihan: “Ini bukan agama”, “Ini bukan agama saya”, atau lebih celaka lagi mencari kambing hitam “Ini pasti komunis”, “Awas, komunis bangkit lagi!” Padahal terorisme itu justru berakar dari penafsiran yang sempit dari suatu agama, apapun agama itu. Jadi, apabila yang berbuat jahat orang yang menganut agama tertentu, maka secara logis perbuatan itu pasti dimotivasi oleh pemahaman atas agamanya itu. Tidak usah mencari kambing hitam. Perang, salib, misalnya, pasti tentara-tentaranya digerakkan oleh pemahaman yang salah dari ajaran Kristen. Tidak mungkin dilakukan oleh non-Kristen. Meskipun kini gereja menyadari, apapun alasannya, membunuh atas nama agama, tidak bisa dibenarkan. Begitu juga kalau ada kaum teroris yang meneriakkan “Allahu akbar”, itu pasti Muslim, dan bukan Hindu atau Buddha, sekalipun pemahamannya terhadap Islam tidak dibenarkan oleh umat Islam.
Nah, justru dengan berkata jujur bahwa yang jelek itu adalah jelek meskipun itu dari umat kita sendiri, dan sebaliknya baik itu tetap baik sekalipun itu terjadi di agama lain, maka dengan mudah kita akan bisa melacak akar terorisme itu. Sebaliknya, kalau setiap terjadi aksi terorisme kita buru-buru membebaskan agama kita dari kesalahan, akan sulit melacak akar kekerasan itu. Ibarat orang sakit yang mau disembuhkan, sulit dilakukan karena dia sendiri tidak merasa sakit.
Itulah sebabnya, dalam Injil tercatat firman-Nya yang berbunyi: “Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah” (Yohanes 16:2). Memang, terorisme itu penyakit yang digerakkan oleh pemahaman agama yang salah.
Takfir sebagai akar Terorisme
Abad XX ditandai dengan bangkitnya negara-negara nasional sebagai reaksi dari kolonialisme dan imperialisme. Inilah abad ini memuncaknya perang dingin antara blok Kapitalis dan blok Komunis.
Memasuki abad XXI kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme sudah “berganti wajah”. Bung Karno menyebutnya Neo-Kapitalisme-Kolonialisme-Imperialisme (Nekolim). Pada era ini nekolim bisa menyusup kemana saja, termasuk menjadikan agama sebagai alat mencapai tujuannya. Tetapi kenapa agama bisa beriringan mesra dengan Nekolim? Karena ada yang salah dalam kita memahami agama, dan keduanya bisa berjalan bersama untuk saling nenunggangi dan memanfaatkan satu sama lain.
Sekarang Nasionalisme tidak lagi berhadap-hadapan dengan kolonialisme dan imperialisme secara fisik. Pasca-perang dingin musuh peradaban kita adalah “terorisme agama”, yang sering menghalalkan perselingkuhan dengan siapa saja, asal mereka dapat mendukung tujuan ideologis mereka. Karena itu, tidak cukup hanya dengan mengutuk terorisme, dan membebaskan agama dari semua stigma negatifnya. Justru yang harus kita bereskan adalah pemahaman keagamaan sesat sebagai legitimasi tindakan kekerasan.
Meminjam analisis Bung Karno, pada abad XX kapitalisme memperanakkan kolonialisme dan kolonialisme memperanakkan imperialisme, maka pada abad XXI fanatisme melahirkan fundamentalisme, dan fundamentalisme melahirkan terorisme. Evolusi ideologis fanatisme-fundamentalisme ini bisa dibolak-balik. Fanatisme sering muncul akibat pembacaan teks-teks Kitab Suci yang sepotong-potong. Sebaliknya, tafsir Kitab Suci bisa sangat dipengaruhi oleh sang penafsir. Pengetahuan dan tingkat empati sang penafsir kepada “yang lain” sangat menentukan corak tafsiran itu. Yang sering dilupakan oleh mereka yang mengklaim sebagai “para pembela agama” biasanya kalau ada yg jahat itu pasti agama lain, bukan agama kita. Mereka tidak mampu membedakan antara cita ideal agama (das sollen) dan kenyataan riil praktek keagamaan (das sein). Ketika anda berkata: “Islam itu damai”, “Islam itu rahmatan lil ‘alamin”, itulah “das sollen” – nya Islam, cita ideal yang diharapkan dan ingin diwujudkan. Sama seperti ketika rekan Hindu kita berkata “moksartham jagadhita ya ca iti dharma” (agama bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan perdamaian hidup di dunia), atau harapan setiap pengikut Buddha: “Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta” (Semoga semua makhluk hidup berbahagia). Inilah “das sollen” semua agama, tak perlu harus berlomba mengatakan: “Semua agama mengajarkan perdamaian, terutama agama saya”. Parameter harus dilihat dari hasil, bukan dari klaim teologis sepihak, bak iklan kecap “kecap saya nomor satu”, tanpa pemahaman yang memadai atas agama lain yang dikafir-kafirkannya.
Justru masalahnya, mengapa terorisme memakai ayat-ayat Kitab Suci? Siapakah mereka? Fasih mendaras ayat, lalu belajarnya dimana? Inilah sesuatu yang ada di balik “das sein” yang harus dijawab. Kalau seorang teroris ternyata seagama dengan kita, tak perlu cari kambing hitam: ” Itu pasti bukan agama saya.” Inilah sikap “defence mecanism” yang tujuannya memproteksi agama kita agar tetap terjaga kehormatannya, bahkan superioritasnya atas agama-agama lainnya.
Cukuplah kita berbenah: “Siapakah mereka? Bagaimana cara belajar kaum teroris itu?” “Siapa gurunya?” “Kitab-kitab apa saja yang dibacanya?” Kalau yang mereka baca bukan Das Kapital atau Manifesto Komunis, lalu bagaimana jluntrungan logisnya mereka itu disebut Komunis? Kalau yang mereka baca bukan Weda, lalu apa dasar penyimpulannya mereka itu Hindu. Ya, cita ideal agama kita itu kadang tidak seindah dengan kenyataan, atau minimal untuk tidak memancing kontroversi, ternyata tidak mudah untuk mewujudkannya. Faktanya tidak ada kejahatan yang melebihi jahatnya kejahatan yang digerakkan oleh motivasi keagamaan. Biasanya seorang penjahat malu dengan perbuatannya, tetapi pelaku terorisme justru bangga, karena itu merasa berbakti kepada Allah.
Kita bisa menemukan jawaban untuk mendiagnosis penyakit kejiwaan ini dari Injil. “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita”, sabda Almasih. “Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala” (Matius 5:21-22). Mengapa pembunuhan dikaitkan dengan peng-“kafir”-an? Untuk mencari hubungan antara pembunuhan dengan kemarahan, mudah menjawabnya. Karena kemarahan yang meledak menemukan wujud terakhir menghabisi sesama. Begitu pula, tidak sulit mengualifikasikan jenis kejahatan dalam hukum pidana. Kalau tindakan menghilangkan nyawa orang itu sifatnya spontan, dan bisa dibuktikan unsur kesengajaannya, itu namanya pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Kalau semua unsur delik di atas terpenuhi, tetapi dilakukan “met voor bedachten rade” (dengan rencana lebih dahulu), kualifikasi pidananya lebih berat, karena dilakukan dengan suasana batin yang lebih jahat. Delik ini termasuk pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), sanksi maksimalnya pidana mati. Di sini motif yang mendorong seorang berbuat jahat dan perbuatan jahat itu sendiri berkaitan erat, dan suasana batin yg menentukan kualifikasi kejahatan juga menentukan berat atau ringannya pidana.
Almasih tidak mengajarkan hukum positif atau undang-undang saja, suatu ilmu yang biasa dipelajari di Fakultas Hukum, melainkan mengajak kita mencabut akar kejahatan yang ada dalam hati dan pikiran setiap orang, sebelum seseorang berbuat jahat. Inilah yang dikenal sebagai “membuat pagar mengelilingi Taurat” (seyag laTorah). Sebelum membunuh, jaga hati dan pikiran agar tidak membenci dan marah, supaya kita jangan membunuh. Sebelum berzinah, jaga mata agar tidak memandang perempuan penuh nafsu, supaya kita jangan berbuat zinah. Lebih dari sekedar marah, seorang yang mengkafirkan saudaranya, harus diserahkan ke mahkamah agama.
Lalu apakah hubungan antara peng-“kafir”-an dan pembunuhan? Karena “takfir” atau mengafirkan orang lain itu adalah salah satu bentuk pembunuhan juga, yaitu pembunuhan teologis (theological killing), karena tidak memberikan hak hidup kepada mereka yang berbeda keyakinan dengan dirinya. “Setiap orang yang berkata kepada saudaranya “hai kafir!” harus diserahkan ke mahkamah agama” (Matius 5:22). Kata Aramaik “raqa” yang sejajar dengan bahasa Arab كافر “kafir” adalah caci maki teologis yang diekspresikan dari sikap keagamaan yang memandang agama lain sebagai musuh. Pemakaian kata Aramaik ini dalam literatur Yudaisme, misalnya: Ada seorang non-Yahudi berkata kepada orang Yahudi: “Di rumahku ada makanan enak yang siap dihidangkan untukmu!” “Apakah itu?”, tanya orang Yahudi. “Daging babi yang lezat”, jawabnya. “Raqa!”, jawab orang Yahudi itu marah. “Tidak pantas makan sehidangan dengan orang kafir sepertimu! “. Di mata Almasih, umpatan agamawi seperti inilah yang mengawali tindakan kekerasan kepada sesama, dan itu bisa terjadi, ketika sebuah orthodoksi keagamaan memegang kuasa politik di tangannya.
Selanjutnya, kata Ibrani “more” (jahil, jahiliyah), disebutkan Almasih sebagai caci maki teologis yang lebih berat, sehingga sanksinya adalah neraka yang menyala-nyata. Mengapa? Ternyata inilah kesalahan Musa dan Harun, sehingga kedua nabi itu tidak boleh memasuki Tanah Perjanjian. Inilah peristiwa Meriba yang tercatat dalam Kitab Taurat, ketika Bani Israel bersungut-sungut dalam peristiwa pengembaraan di padang gurun karena bani Israel tidak menemukan air pada waktu keluar dari tanah Mesir. Musa dan Harun marah, dan memukulkan tongkatnya ke bukit batu, seraya berkata: “Dengarlah kepadaku, hai orang-orang durhaka (Ibrani: “shim’u-na haMorim“), apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?” (Bilangan 20:10). Musa dan Harun menyebut umatnya “haMorim” (orang-orang durhaka, orang-orang jahil), padahal di mata Allah justru Musa dan Harun yang durhaka, karena “… kamu berdua telah memberontak terhadap titah-Ku” (Ibrani: “ka asher meritem pi“). Sebesar apakah kesalahan kedua nabi ini sehingga di mata Tuhan disebut “more” (jahil, durhaka, memberontak) dan melanggar kekudusan Tuhan di depan umat-Nya? Jawabnya, karena Musa dan Harun merasa bisa membuat mukjizat mengeluarkan air dari bukit batu. Padahal itu adalah hak Tuhan semata-mata. Perbuatan ini jelas-jelas merampas kemuliaan Tuhan, suatu kesalahan yang sering dilakukan oleh fokoh-tokoh agama yang tanpa sadar menjadikan agamanya sebagai ganti Tuhan, dan teologi mereka menjadi theos (Allah) itu sendiri.
Kalau dalam Taurat sanksi terhadap perbuatan merampas kemuliaan Allah ini “tidak boleh masuk ke tanah perjanjian”, dalam Injil lebih tegas lagi “diserahkan ke neraka yang msnyala-nyala” (Aramaik: “me hayav-hu legihana de nora“). Tanpa mencabut akar teologis dari terorisme, yaitu imperialisme dogmatis yang menempatkan pihak lain sebagai “raqa” (kafir) dan “more” (jahil, durhaka), sama saja dengan membiarkan sel-sel tidur terorisme yang sewaktu-waktu akan melakukan tindakan kekerasan yang lebih biadab lagi. (Selesai)
* Penulis lahir di Ponorogo, 31 Maret 1964; umur 54 tahun) adalah pendiri Institute for Syriac Christian Studies (ISCS). Sejak akhir 1997, setelah mempelajari dari dekat gereja-gereja Arab di beberapa negara di Timur Tengah, ia menawarkan kekristenan Syria sebagai wacana dalam menembus “kebuntuan dialog teologis Kristen-Islam”. (id.wikipedia.org/wiki/Bambang_Noorsena)
* Diposkan oleh: Rony Handerson, seijin penulis.