Peranan Gereja dalam Kemajemukan Agama
Oleh
Hendrik Nyoman Wahini
Sekolah Tinggi Immanuel Nusantara
Pendahuluan
Dalam lingkup kehidupan warga Negara, adanya kemajemukan agama adalah hal yang sangat sulit untuk di hadapi dalam suatu Negara. Contoh konkret adalah Negara Indonesia. Indonesia memiliki 5 kepercayaan agama; yaitu agama Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu cu, dan Muslim. Dari ke-5 kepercayaan tersebut, Pentingnya Peranan Gereja Terhadap Kemajemukan Agama di Indonesia sangat dibutuhkan untuk pekabaran Injil karena sudah seharusnya gereja mengemban misi Allah untuk menyelamatkan semua umat manusia sesuai dengan Injil Matius 28:19-20. Karena itu pergilah jadikanlah semua bangsa muridKu dan Baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman. Dari Pernyataan Yesus Kristus inilah gereja di Indonesia harus berani bersaksi kepada non Kristen supaya banyak orang diselamatkan.
- Hubungan Gereja dan masyarakat Indonesia
Indonesia bukanlah Negara teokrasi, bukan Negara agama atau yang berdasarkan pada suatu agama tertentu. Melainkan Negara kesatuan yang berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pancasila sebagai landasan idiil dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional secara tegas menyatakan bahwa Negara menjamin kebebasan setiap penduduk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Sehingga dapat menghasilkan Negara yang berdaulat, makmur, dan sentosa. Dari jumlah penduduk yang sedemikian besar dengan berbagai agama dan aliran kepercayaannya adalah realitas yang sekaligus tantangan yang harus di perhitungkan oleh gereja dalam menempatkan diri dan menjalankan misinya di Indonesia.[1]
- 2. Realitas Yang Dihadapi Gereja Di Tengah-tengah Keberagaman Agama
Undang-undang Dasar 1945, khususnya pasal 29 memberikan rumusan yang sangat jelas sekali dalam hubungannya dengan keberagamaan di Indonesia:
- Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayaanya itu.
Rumusan Pasal 29 ayat 1, 2 Yang sangat singkat dan padat ini memang mengasumsikan adanya jaminan serta kebebasan bagi warga Negara untuk melaksanakan ibadatnya (dengan berbagai fasilitas yang di butuhkan untuk mendukung peribadahan itu) namun tidak secara eksplisit mengungkapkan adanya kebebasan untuk berganti/bertukar/pindah agama. Sepanjang sejarah agama dapat memberi sumbangsih positif bagi masyarakat dengan memupuk persaudaraan saling menghargai, menghormati dan semangat bekerjasama antar anggota masyarakat. Akan tetapi realitas yang terjadi khususnya di daerah Poso, perang antar agama Islam vs Kristen masih terlihat di beberapa desa, hal ini mengakibatkan banyaknya pertumpahan darah. Dan sampai saat ini pemerintah setempat masih berusaha mencari solusi untuk permasalahan tersebut.
- Penyebab Terjadinya Konflik Antar Agama Di Indonesia
Menurut Drs. Hendropuspito seorang tokoh Filsafat mengemukakan bahwa paling tidak ada empat hal pokok sebagai sumber konflik sosial yang bersumber dari agama. Hendropuspito, menyoroti konflik antar kelompok masyarakat Islam – Kristen di Indonesia, dibagi dalam empat hal, yaitu:
- Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental
Semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab dari benturan itu.Entah sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan, sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu. Agama Islam dan Kristen di Indonesia, merupakan agama samawi (revealed religion), yang meyakini terbentuk dari wahyu Ilahi Karena itu memiliki rasa superior, sebagai agama yang berasal dari Tuhan. Karena hal itulah yang mempengaruhi faktor perbedaan doktrin dan sikap mental dan kelompok masyarakat Islam dan Kristen punya andil sebagai pemicu konflik.
- Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama
Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam masyarakat. Contoh di wilayah Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku Batak di Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan Suku Batak yang beragama Kristen; kedua suku itu hampir selalu hidup dalam ketegangan, bahkan dalam konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan ketentraman dan keamanan. Di beberapa tempat yang terjadi kerusuhan seperti: Situbondo, Tasikmalaya, dan Rengasdengklok, massa yang mengamuk adalah penduduk setempat dari Suku Madura di Jawa Timur, dan Suku Sunda di Jawa Barat. Sedangkan yang menjadi korban keganasan massa adalah kelompok pendatang yang umumnya dari Suku non Jawa dan dari Suku Tionghoa. Jadi, nampaknya perbedaan suku dan ras disertai perbedaan agama ikut memicu terjadinya konflik.
- Perbedaan Tingkat Kebudayaan
Agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama. Secara sederhana dapat dibedakan dua kategori budaya dalam masyarakat, yakni budaya tradisional dan budaya modern. Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya yang sederhana atau tradisional: sedangkan kaum pendatang memiliki budaya yang lebih maju atau modern. Karena itu bentuk rumah gereja lebih berwajah budaya Barat yang mewah. Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama di suatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di Indonesia.
Penutup
Agama Kristen di Indonesia adalah agama yang minoritas, dan sebagai agama yang minoritas Gereja harus memahami bahwa eksistensinya hidup berdampingan di tengah-tengah kemajemukan agama. Gereja harus memberikan dasar-dasar teologis-dogmatis dan sikapnya terhadap agama lainnya. Sedangkan disisi lain gereja harus memahami dan mengerti tentang keberadaan, dasar-dasar kehidupan agama lain, dan sedapat mungkin mengenal ajaran agama lain. Atas dasar itulah gereja dan orang kristen dapat mengambil sikap praktis, bagaimana hidup bersekutu, melayani dan bersaksi di tengah-tengah kemajemukan agama dan penganut agama lain. Dalam pemahaman inilah gereja melakukan tugas dan panggilannya sebagai garam dan terang dunia. Dalam hal ini gereja senantiasa memberikan pemahaman terhadap umatnya. Dan sebagai warga gereja, adalah suatu keharusan untuk menghargai, menghormati, dan berusaha menjadi berkat bagi agama lain.
Referensi
Alkitab. (2014). Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia
Dewi S. (2000). Hubungan Gereja dan negara. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Soetarman, SP. (1993). Fundamentalisme agama-agama dan teknologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Wlliam, C. (2002). Pluralisme, konflik & Pendidikan agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Dewi SRI, Hubungan Gereja Dan Negara, Antalya Rileni Sudeco, Medan:2000, Hal 165-166